Blenk! -Dibaca Musyrik Nggak Dibaca Munafik-


Ini Blenk! novel narsis berbasis najis. Diterbitkan Wahyumedia bulan Desember 2013. Harganya: 55.000 dollar Indonesia atau sekitar 509 yen.
Jangan tanya siapa penulisnya, tapi tanya bagaimana memperjuangkan naskahnya sampai bisa nongkrong di toko buku.  





Ngomongin buku ‘Blenk!’ berarti ngomongin kilas balik perjuangan saya untuk menyandang predikat penulis {amatir nan mesum}. Apalah dikata orang ketika saya mulai meninggalkan kehidupan yang seharusnya demi mendapatkan sebuah pencapaian lain. Pencapaian  yang kadang saya sendiri ngerasa itu terlalu irasional buat diwujudkan. Maklum, saya sempat tergoyahkan oleh sebagian orang yang mulai gusar mendengar mimpi saya.

Salah satu alasan yang bikin saya keras kepala buat jadi penulis adalah ketika naskah pertama saya ditolak oleh salah satu penerbit. Memang waktu itu saya menawarkan naskah yang gobloknya, saya nggak nyadar kalau naskah pertama saya lebih buruk dari kelakuannya Raja Namrud. Jelas aja, penerbit mana yang mau nerima naskah dengan isi cerita tanpa arah, kaidah penulisan yang parah, dan aturan-aturan lainnya yang begitu salah.

Selama kurang lebih enam bulan, saya mempertaruhkan sebuah naskah yang jelas-jelas akan ditolak itu. Dan enam bulan itu hanya berbalas satu kalimat lewat telepon dari redaksi, “Maaf Mas, naskahnya belum bisa kami proses lebih lanjut.” Dan, seketika dunia membongkar siapa sebenarnya pembunuh perasaan penulis yang paling efektif.

Mungkin saya adalah satu dari sekian banyak orang yang nyesek karena naskahnya ditolak. saya langsung kehilangan kesadaran menulis untuk waktu yang cukup lama. Sekitar 4 jam 27 menit. Rasanya waktu itu saya gak pengin ngelihat draft tulisan saya lagi. Hari itu pula saya pergi ke suatu tempat di mana tak seorang pun tahu nama saya.

Di sana, saya merenungkan apa yang terjadi. Hari demi hari kesadaran akan kegoblokan ini mulai terbentuk. saya mendapatkan kesimpulan: rupanya untuk jadi penulis itu nggak cuma modal bisa hurup alfabet. Untuk mengalahkan rasa nyesek yang bersisa di rongga hati, saya gak boleh kemayu kayak Jeremy Teti. Saya harus setrong, biar kayak anak hardcore. Straight Edge! Hantam rata! 

Setelah dapat pencerahan, saya balik ke rumah. Ngerasa udah tiga perempat jalan, saya gak bisa menundanya lagi. Saya nulis dari awal lagi. Draft yang sebelumnya? Saya simpen jauh-jauh. Saya hanya akan mengenangnya sebagai langkah awal karir menulis.

Sambil menyelam minum Strawberry Milk Shake with Choco Orange. Itulah ungkapan yang tepat saat saya mulai menulis lagi. Sambil menulis bab satu, saya belajar gimana cara menulis dengan menggunakan titit. Sekarang, yang kalian perlu ketahui adalah saya terlalu maksain buat ngelucu tapi malah jadi writingsex gini. Lagi pula, nulis pake titit itu susahnya luar biasa. Belum lagi kalo tititnya bengkak. Buat yang penasaran silakan praktekan pake titit sendiri. Yang nggak punya boleh pinjem sama orang.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk menulis naskah mentah ‘Blenk!’. Dalam proses yang lama itu, saya mengerjakannya dengan hati dan hati-hati. Saya nggak mau tragedi naskah ditolak terjadi lagi. Saya pun selama itu (pada setiap menulis bab) berada dalam sebuah kamar gelap yang hanya dicahayai monitor PC. Seriusan. Sedramatis itu. Saya mengalami dua kali masa rambut gondrong saking lamanya proses menulis naskah. Pertama, panjangnya sebahu dengan gaya bergelombang. Kira-kira modelnya hampir mirip rambut wanita karir. Kedua, panjangnya menutupi leher dan nggak pernah disisir. Saking gak beraturannya, tiap bangun tidur sedikitnya ada tiga anggota keluarga yang badannya nyangkut di rambut saya.

Selain menulis, saya juga membubuhkan ilustrasi yang saya gambar sendiri. Pikir saya, dengan tambahan ilustrasi akan menjadi daya tarik tersendiri ketika membaca naskahnya, dan itu benar. Beberapa teman yang saya paksa buat suruh baca besoknya taubat nasuha setelahnya. Iya, ilustrasi saya rupanya semakin menambah najis naskah saya.

Dalam menulis naskah ‘Blenk!’, banyak banget ritual yang saya panjatkan. Salah satunya adalah saya gak mengontak siapapun termasuk teman dekat. Saya melakukan ini karena waktu itu saya lagi nulis bab tentang persahabatan, band, dan sebuah relationship.

Beberapa teman ada yang sampe nelepon dan khawatir apa yang sudah saya lakukan saat itu. Saya rasa mereka juga jengkel lantaran saya nggak pernah ngebales SMS, DM, atau pesan berjenis lainnnya. Sering mereka menelepon untuk memastikan saya baik-baik aja. Waktu itu gue cuma mijit tombol answer tapi gak saya jawab. Saya membiarkan temen saya berteriak "HALO! HALO! ANJRIT..." Maapin saya temen-temen, waktu itu saya cuma menjalankan ritual. 

Pikir saya saat itu, mungkin dengan tidak kontak sama sekali, saya bisa lebih tenang melakukan apa yang ingin saya lakukan sendirian.

Ritual lainnya, saya menguruskan badan. Padahal waktu itu badan udah setipis pembalut wanita. Mungkin juga setipis alat kontrasepsi. Entah kenapa, saya ngerasa dengan menguruskan badan saya bisa mendalami bagian bab yang sendu. Saya sengaja makan satu kali sehari. Itu pun dengan porsi {kayaknya} sekitar 5 sampai 6 butir nasi. Gara-gara ritual yang satu ini, berat badan turun drastis dalam dua bulan terakhir.

To be contolnued...

Comments

Post a Comment

Popular Posts