The Lost Triangle
Gue udah ngerasa nggak nyaman sama dia.
Visi misi kita udah nggak sejalan, dan sepertinya hubungan gue sama dia harus
segera berakhir. Gue mencoba bertahan tapi rasa lelah gue sudah melebihi batas.
Biarlah untuk sementara waktu, gue menjalani hari-hari tanpa dia dulu sampai
gue menemukan jalan yang terbaik untuk kami berdua.
Siang itu, Ibu masuk ke kamar gue,
mendapati gue yang sedang merenungkan nasib hubungan antara gue dengan dia .
Namun Ibu tak peduli dengan apa yang gue rasakan karena saat itu beliau sedang
terlihat senang, dan siapa juga yang akan peduli dengan perasaan anak kelas 3
SD.
“Bang, coba tebak, Ibu bawa apa?” tanya
beliau. Diperlihatkannya sebuah kotak seukuran box kontainer. Oke, itu terlalu
gede. Kita ubah saja ukurannya menjadi sebesar biji adek gue. Aduh, itu terlalu
kecil. Enaknya segede apa, nih? Nah, baiklah, sebesar dus handphone saja.
“Nggak tahu. Tapi kalau emang buat
Blenk, cepetan kasihin sini,” jawab gue sinis.
“Ntar dulu, dong. Ini tuh sebenernya
buat Bapak, cuman nggak muat. Kayaknya di Abang pas, deh.”
“Emang isinya apaan, sih?” gue mulai
penasaran.
“Udah lah, liat aja, terus cobain dulu.
Pasti pas, kok.”
Gue mengambil kotak tersebut, lalu
buru-buru membukanya. Seketika cahaya yang menyilaukan mata memancar dari dalam
kotak tersebut. Coba kalian tebak, apa isinya? Ya, salah. Isinya bukan potongan
tubuh hasil mutilasi karena ini bukan cerita film psikopat.
Sebuah benda menakjubkan berbentuk
segitiga berwarna hijau tua. Di sudutnya terdapat logo bergambar buaya
menganga. Crocodile Underwear. Memang, hari ulang tahun gue udah lewat dua
minggu yang lalu. Tapi gue menganggap pemberian Ibu ini sebagai hadiah ulang
tahun gue yang ke-9. Dan, secara tiba-tiba mata gue berkaca-kaca seraya
berkata, “Terimakasih Ibu, jodoh tak harus selalu berwujud manusia.”
Selanjutnya, gue benar-benar mengakhiri
hubungan gue dengan kolor lama gue. Kolor merah muda bertuliskan ‘Scorpio’
(selanjutnya kita menyebutnya Scorpion Pink) yang selama ini membuat
selangkangan sekaligus hidup gue tertekan. Scorpion Pink akhirnya gue wariskan
kepada adik gue yang nggak tahu apa-apa. Kasihan, adik gue harus merasakan
selangkangan sekaligus hidup yang tertekan. HAHAHAHARRGGHH... *Evil Brother
Laugh
Hari pertama gue sama Crocodile
Underwear (selanjutnya kita menyebutnya Green) diawali dengan rasa canggung
satu sama lain. Jujur, gue masih ada bayang-bayang si Scorpion Pink. Kalian
harus tahu bahwa gue harus bisa move on dari dia. Dia udah jadi milik adik gue
yang sekarang menderita itu. HAHAHAHARRGGHH... *Evil Brother Laugh Lagi
Selama beberapa menit kami tak kunjung
memulai percakapan atau perkenalan. Gue hanya menatapnya di depan lemari
pakaian dalam. Dia mungkin melakukan hal yang sama, tapi gue benar-benar nggak
tahu matanya di sebelah mana. Akhirnya gue memberanikan diri untuk membuka
pembicaraan dengan Green.
“Hai... Pagi yang dingin ya.”
“...”
“Sini aku pakai, biar kita sama-sama
hangat.”
“...”
Dia memang segitiga yang pemalu.
Di sekolah, gue ngerasa nyaman banget
didekap dia. Rasanya anget-geli-rileks bercampur jadi satu. Hari perdananya
membawa dia kepada sisi kepahlawanannya. Jadi, sewaktu gue habis pipis di
kelas... halah, maksudnya di WC dekat kelas, ‘anu’ gue hampir saja tergigit
resleting celana merah gue. Untung saja beberapa mili sebelum mengenai anu,
resleting agresif itu tersangkut Green yang pada saat itu menyembul sedikit
keluar.
Dia juga nggak pernah nyelip ke belahan
pantat gue. Sebagai kolor junior, dia melakukan tugasnya dengan sangat baik.
Gue bangga akan sikap Green. Sekadar informasi, kolor junior itu istilah untuk
kolor baru yang dipakai. Sementara kolor seperti Scorpion Pink, dia disebut
kolor senior. Ah, kenapa gue harus nyebutin mantan kolor yang bikin gue nggak
nyaman itu, sih? Baiklah, kita lupakan saja dia.
Saking bangganya, gue sampai
memperkenalkan Green kepada teman-teman di kelas. Mereka takjub begitu gue
memperlihatkannya. Perlu kalian ketahui, jaman gue, anak-anak seusia gue
kebanyakan mengenakan kolor bergambar Spiderman, Captain Tsubasa, atau
kartun-kartun cupu lainnya. Makanya mereka langsung segan ketika tahu gue
satu-satunya anak yang pakai celana dalam beraura jantan. Gue pun berpesan
kepada mereka, siapa pun yang berani nyentuh, maka tangannya akan buntung. Tak
terkecuali anak-anak cewek.
Best Friend Forkolorever |
Pada kesempatan lain, gue disuruh Ibu ke
warung. Disuruh ke warung di saat acara sinetron TV kesayangan lagi
seru-serunya adalah hal yang menjengkelkan. Mungkin ini sering terjadi pada
sebagian anak-anak. Tapi masalahnya, gue nggak mau Ibu gue menelan satu ekor
sapi sebagai pelampiasan amarahnya nanti. Dengan terpaksa gue pun menuruti
perintah Ibu.
Sebetulnya, selain nggak mau kelewat
acara TV, gue punya firasat buruk di luar sana. Benar saja, anak-anak nakal
yang selama ini selalu gue hindari lagi nongkrong di lapang deket warung. Gue
males banget kalau ketemu mereka. Terakhir kali gue berhadapan sama mereka
adalah ketika gue diajakin main kelereng. Semua anak di kampung gue tahu kalau
mereka adalah mafia kelereng. Gue yang waktu itu belom tahu, diajakin main,
lalu mereka mengatur strategi supaya gue kalah. Gue pun mengalami kerugian
setoples kelereng.
“Blenk! Ayo main kelereng sama
kita-kita,” kata salah seorang anak.
Gue pura-pura nggak denger sambil terus
berjalan.
“Hahaha... cupu dia mah,” tiba-tiba,
salah seorang anak yang lain nyeletuk seperti itu.
Gue berusaha untuk nggak ngasih respon
apa-apa.
“Hahaha... cupu banget!” tegas dia.
Okeh, kalo cuman ‘cupu’ gue masih bisa
terima. Tapi kalo udah masuk ke ranah ‘cupu banget’, ini harus diluruskan
dengan cara laki-laki. Sialnya, gue nggak berani sama mereka karena gue memang
cupu. Usia mereka jauh lebih tua dibandingkan gue padahal beberapa di antara
mereka adik kelas gue.
“Apa mau kalian?” tanya gue, mulai
emosi.
“Kita mau ini...” salah seorang anak
yang badannya tinggi menahan gue dari belakang. Dua anak lainnya memegangi
kedua kaki gue. Dua anak lagi menyoraki. Mereka seperti kumpulan kanibal dari
Kepulauan Samoa yang hendak memasak gue.
Gue digotong ke tengah lapang dan mereka
berhenti tepat di atas genangan air. Gue diayun-ayun, lalu... byur...
dijatuhkannya gue ke genangan air yang warnanya kayak Cappucino. Air yang kotor
itu tembus sampai anu gue kerasa dingin.
Tiba-tiba gue ngerasa Green berinteraksi
dengan gue. Dalam keadaan mengigil, dia seperti sedang mentransfer kekuatan.
Seketika, gue jadi punya keberanian untuk melawan mereka. Gue langsung bangkit
dari genangan, memasang kuda-kuda. Kedua tangan gue bertolak pinggang, kemudian
gue menyilangkan lengan ke depan seperti ‘X’ sambil berteriak lantang,
“BERUBAH!”
Mereka diem.
Gue nggak berubah. Iya, gue pikir dengan
menyebutkan itu, minimal gue jadi pake kostum. Mereka lalu menjatuhkan gue ke genangan untuk
kedua kalinya. Shit, pekik gue. Gue bangkit lagi dari genangan. Atas nama
seluruh karakter Pokemon, gue nggak terima celana gue, apalagi Green Crocodile
dilecehkan seperti ini. Sambil menatap marah kepada mereka, gue berlari ke
rumah, tentunya dengan gaya ninja. Gue pun tiba di rumah tepat pada saat bedug Ashar.
Gue buru-buru ke kamar mandi untuk
mencuci selangkangan gue yang ternyata kena pasir basah. Gue juga memandikan
Green. Tadinya dia nolak karena dia bisa bersihin sendiri, tapi gue khawatir
dia bisa. Soalnya dia lebih kotor dari selangkangan gue. Dia perlu dikucek pake
sabun colek.
“Kok, tumben mandi sore?” Ibu datang
dengan tiba-tiba, entah dari mana.
Gimana Ibu nggak heran, padahal biasanya
gue nggak pernah mandi sore... kalo Ibu nggak ngamuk.
“Mana pesenan Ibu?” tanya beliau lagi.
“Warungnya tadi tutup, ini lagi nyobain
sabun colek.” Ngeles gue nggak bermutu banget. Bodo amat. Sebetulnya gue nggak
mau Ibu tahu kalau gue habis dijatohin anak-anak nakal. Apalagi sampe tahu Green
tersakiti. Biarlah ini jadi urusan anak-anak. Ibu-ibu jangan sampai terlibat.
Selepas semuanya bersih, gue
mengendap-endap menuju teras, berharap Ibu nggak tahu kalau gue ngejemur Green
di bawah kursi teras. Kursi tersebut memang jarang sekali diduduki karena
terhalang oleh jemuran yang panjang. Pikir gue, dengan menjemurnya di tempat
yang agak tersembunyi, nggak ada satu orang pun yang akan mengganggu Green,
setidaknya sampai ia pulih dari basah.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, gue
langsung keingetan Green yang gue keringkan kemarin sore. Gue yakin kondisi
Green sudah agak keringan. Gue udah nggak sabar pengin memakainya kembali.
Dengan semangat anak-anak, gue menemuinya di teras, dan...
GREEN NGGAK ADA!
Gue panik.
Gue berlari menemui Ibu di dalam. Saking
paniknya, gue sampai lupa salim sama Ibu. Tanpa basa-basi, gue langsung
menanyakan di mana Green sekarang. Jelas saja, Ibu nggak tahu apa-apa soal
Green. Yang Ibu tahu, Green biasanya ada di lemari pakaian dalam gue. Semenjak
kedekatan gue dengan Green, gue nggak pernah menaruhnya di lemari pakaian
dalam. Dia gue satukan sama baju-baju yang bagus.
Gue, dibantu Ibu dan adik-adik, mengubek
seisi rumah dan teras. Mulai dari kamar mandi, kamar tidur, sampai kamar mayat (emang di rumah gue ada kamar mayat gitu?). Kolong-kolong juga tak luput dari incaran
gue. Bahkan gue nyoba ngebongkar gudang. Semua hasilnya nihil. Pikiran gue mulai nggak logis ketika melihat tanaman
Kuping Gajah. Gue curiga dia membunuh Green, soalnya letak tanaman itu sangat
dekat dengan kursi teras. Sampai malam tiba, gue capek mencari Green.
Kemana Green?
Sebulan lamanya gue mencari Green tetep
nggak ketemu juga. Ibu berupaya membesarkan hati gue dengan membelikan beberapa
kolor yang baru. Mungkin maksud beliau supaya gue bisa lepas dari bayangan
Green. Namun bagi gue, Green tetaplah Green. Berbeda dengan cangcut atau
kolor-kolor lainnya. Kali ini Ibu mengerti akan perasaan gue karena beliau juga
sedang sedih arisannya nggak keluar-keluar. Akhirnya kami berdua saling
menyemangati. Ibu menyemangati gue supaya melupakan Green, sementara gue
menyemangati Ibu supaya terus menyemangati gue. Seiring bergantinya kalender,
gue pun lupa dengan sendirinya.
Sekarang, gue keingetan Green lagi
gara-gara nulis cerita ini. Gue nggak tahu harus titip salam buat Green kepada
siapa. Yang jelas, siapa pun Anda, di mana pun Anda berada, kalau ketemu dengan
segitiga mencurigakan tapi kalem, tolong sampaikan salam dari gue.
Kalo dipikir-pikir, di usia yang masih
dini, gue udah ngerasain pahitnya kehilangan. Dan, sebaik-baiknya kehilangan
adalah yang mengikhlaskannya.
Comments
Post a Comment