Mungkin Sesekali Kita Harus Mengingat Bagian Dari Tidur Lelap

Enam hari sebelum nulis ini, gue mimpiin sesuatu. Bukan, gue bukan mimpiin artis-artis Jepang berbikini, yang nyemprotin aer dari selang ke gue. Sehabis baju gue basah, mereka menelanjangi gue sejadi-jadinya. Dan di sanalah... Ah, gue kalo udah ngomongin yang ginian, pasti aja keterusan.

Jumat itu, udah malem, gue lagi biasa aja. Saking biasanya gue ketiduran, dan dimulailah ketidaksadaran gue seperti yang sudah-sudah. Seingat gue, tiba-tiba aja gue berada dalam scene di mana gue berjalan, berdampingan dengan tetangga gue.

Mang Iyad, begitulah bunyinya. Umurnya udah paruh baya. Punya tiga anak yang salah satunya udah nikah. Di dunia nyata, Mang Iyad orang yang kocak, suka ngebanyol pake bahasa Sunda. Fikri, temen deket gue tahu itu. Kadang ocehannya ke mana-mana. Yang paling gue suka, kalo Mang Iyad udah ngomongin konten vulgar. Mungkin kalo Mang Iyad punya sosial media, dia udah seterkenal akun yang suka ngelucu Sunda itu. Tapi, di mimpi gue, Mang Iyad menjadi sosok yang lain.

Mang Iyad berjalan di kiri, dan gue di kanan, agak ke tengah jalan. Di tanjakan itu, matahari menyengat, dan anehnya gue nggak ngerasa kepanasan. Gue coba meyakinkan diri sendiri, kalo orang yang berjalan di samping gue emang Mang Iyad. Inisiatif gue untuk mendekatinya malah di luar kendali. Mang Iyad jalan makin cepet, dan gue berusaha mengejarnya.

"Mang Iyad!" sapa gue. "Mang, tunggu!" gue mulai ngos-ngosan.

Mang Iyad nggak denger apa yang gue teriakin. Dia malah jalan makin cepet, lebih cepet dari tadi. Mungkin kalo jalan itu sirkuit, dia bisa jadi juara F1 tanpa harus mengendarai motor.

Langkah gue semakin menyamai Mang Iyad, dan sekarang Mang Iyad melambat. "Mang!" kata gue. Meskipun Mang Iyad udah deket, dia tetep nggak menoleh. Tangan gue berusaha melambai, sampai akhirnya gue berhasil menepuk pundak Mang Iyad. Apa yang terjadi? Artis-artis Jepang berbikini nyemprotin aer selang ke gue. Sehabis baju gue basah, mereka menelanjangi gu... alah, malah balik lagi ke yang tadi.

Mang Iyad menoleh ke gue setelah pundaknya gue goyang-goyangkan. Seketika Mang Iyad berteriak, "MANEH TEU NGARTI!" pekiknya dalam bahasa Sunda, yang artinya, "Kamu nggak ngerti."

Sontak gue kaget, sekaligus nggak ngerti sama Mang Iyad. Gue menjauh ke tengah jalan yang sepi itu. Nggak ada kendaraan, bahkan kucing seekor pun. Kalo ngebayangin wajahnya di dunia nyata sama di mimpi, wajah Mang Iyad beda banget. Di mimpi itu dia nangis tapi air matanya cuma keluar secukupnya. Mulutnya agak mangap dikit, dan yang gue ingat, dia pake topi khas tukang mancing. Kemejanya nggak dikancingin sampe dada. Keliatan tulang-tulang dadanya dan kulit khas petani.

Semakin gue ngejauh dari Mang Iyad, wajahnya semakin deket. Kerutan wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Beneran. Gue yang awalnya takut, berubah perasaan ke sedih. Gue mulai sesegukan sampai akhirnya gue menepi ke jalan seberang. Terlihat Mang Iyad nangis kenceng, kayak kehilangan sesuatu yang penting. Gue mencoba mengucapkan satu kalimat yang nggak kedengeran sama sekali. Tapi Mang Iyad membalas kalimat gue, dan gue lupa dia ngomong apa. Tiba-tiba aja semuanya ngeblur dan gue seperti pindah objek.

Di scene selanjutnya gue lebih nggak ngerti lagi. Gue berpindah tempat, dalam keadaan berlari, menyusuri sebuah gang kecil. Gue ingat, gang itu berada di samping rumah gue ketika gue masih SD. Gang itu penghubung ke jalan yang lebih sempit lagi, menuju tempat gue biasanya ngaji bareng anak-anak kampung.

Kaki gue serasa nggak napak, dan langkah gue seperti lari di tempat. Gue mencoba berlari lebih kencang, tapi jarak yang gue tempuh cuma beberapa meter. Padahal di dunia nyata, seharusnya gue udah berlari jauh banget. Ini masih di gang itu-itu aja. Seiring perasaan kesel gue yang nggak tahu mau lari ke mana, seorang anak kecil, laki-laki, tiba-tiba ada di depan gue. Seolah mengimami gue. Gue lupa detail pakaiannya kayak gimana, yang jelas dia pake kaos berkerah sama celana pendek di atas lutut.

Gue pikir gue akan nabrak dia. Jadi, gue hendak memanggil dia, dan sebelum gue sempat memanggil, dia udah menoleh, menatap muka gue. Gue kaget banget sewaktu tahu anak laki-laki itu gue. Iya, dia adalah gue pas umur empat tahun. Kulitnya putih, rambutnya yang lurus lembut disisir belah pinggir ke kanan. Mukanya pake bedak. Sepetinya kebanyakan. Gue rasa dia baru dimandiin sama seseorang dan disuruh main ke luar rumah begitu aja.

Sambil mendekat, dia senyum kecil. Entah kenapa gue jadi ngerasa napak di tanah setelah saling bertatapan sama dia. Dia nggak berhenti menatap gue. Matanya yang agak sendu diterangi matahari sore hari. Pupilnya berubah warna dari hitam ke coklat, agak merah. Sungguh imut, puji gue dalam hati. Keimutannya membuat perasaan gue campur aduk. Pikiran gue berkecamuk, bertanya-tanya, apa bener itu gue. Gue ingin mengatakan sesuatu tapi nggak bisa. Seperti ada yang menahan, kemudian berkata, "Hei, belum waktunya bicara, bodoh!"

Ngeliat diri gue yang masih kecil itu, gue jadi pengen menyentuhnya. Kebetulan dia makin mendekat. Gue mulai melayangkan tangan ke tubuhnya yang kecil itu. Dia masih menatap. Kini bibirnya mulai memberi tanda kalau ia akan senyum sebenar lagi. Tangan-tangan mungilnya yang putih terlihat lemah. Akhirnya ia tersenyum juga. Gigi susunya rapi, putih, seperti sering disikat. Mungkin gue berumur empat tahun adalah gue yang taat seruan iklan pasta gigi, "Ayo sikat gigi tiga kali sehari! Ayo sikat gigi tiga hari sekali!" sepeti itu.

Kali ini giliran gue membalas senyumnya yang lucu. Gue coba ngetes lagi suara gue, dan berhasil. Gue berhasil menyebutkan nama gue sendiri. "Andi," ucap gue sambil menatap wajah Andi kecil itu. Senyumnya makin lebar. Ia memutar tubuhnya ke arah semula, persis seperti pertama kali nongol. Tangannya menunjuk ke depan, seperti menyuruhku mengikutinya. Memang benar, aku harus mengikutinya. Harus tahu apa maksud semua ini.

Gue pasrah, membiarkan tubuh gue mengontrol langkah gue sepenuhnya, sementara otak gue dibiarkan memikirkan apa pun. Saat itu gue gak bisa memikirkan hal lain selain memperdebatkan benar atau tidak anak itu adalah gue. Tapi kemudian gue benar-benar yakin bahwa anak itu gue. Entahlah. Seperti yang gue bilang, gue pasrah. Tubuh ini terus mengikuti ke mana Andi kecil pergi.

Kalau seharusnya arah yang kami tuju adalah utara, maka arah belakang kami adalah selatan. Dan yang terjadi, meskipun kami berjalan ke arah utara, background-nya malah berubah ke arah selatan. Ini kayak arah yang mencoba berontak. Kami terus berjalan ke utara, menuju gang yang lebih sempit, tapi pemandanganya menunjukkan kami berjalan ke arah selatan, balik ke rumah. Andi kecil menoleh ke arah gue, dan dia tersenyum lagi. Sebelum akhirnya pikiran gue bertanya-tanya lagi, Andi kecil telah membawa gue ke tempat di mana kami saling bertemu. Jadi setelah kami berjalan beberapa langkah, pada akhirnya kami berjalan di tempat.

Scene kembali ngeblur tapi Andi kecil masih terlihat jelas. Karena takut perubahan dimensi membuat dirinya hilang, gue pun menggandeng tangan Andi kecil. Niat gue menggendong dia, tapi scene sudah berubah. Masih dalam genggaman gue, Andi kecil mempertemukan gue dengan Bi Hani. Tepat di depan gue.

Bi Hani adalah salah satu orang yang paling berperan dalam hidup gue. Sejak kecil, gue diasuh sama Bi Hani. Ketika itu umur Bi Hani masih belasan tahun. Rambutnya kribo, kulitnya sawo matang. Orang yang baru lihat, mungkin mengira kalau Bi Hani keturunan Maluku. Padahal sebenarnya Bi Hani berdarah Arab.

Bi Hani adalah sepupu Ibu. Sebelum gue lahir, Bi Hani sudah sering mengasuh anak-anak uwa gue. Sampai gue dewasa pun, Bi Hani dipercayai untuk mengasuh adik-adik dan  sepupu-sepupu gue. Kalau ada yang nanya siapa yang mengajari gue menggambar, gue akan dengan cepat menjawab Bi Hani. Kalau ada yang nanya siapa temen pertama gue, gue jawab Bi Hani. Kalau ada yang nanya siapa yang ngabisin nasi di Magic Jar, itu bukan bukan gue.

"Bibi..."

Andi kecil menghampiri Bi Hani, kemudian memeluk kakinya. Bi Hani mengusap rambut Andi kecil. Rambutnya jadi acak-acakan lagi. Tapi Andi terlihat riang, terlihat lebih menggemaskan. Mereka berdua terlihat akrab. Gue bisa melihat jelas kedekatan mereka. Sangat mengingatkan semasa kecil gue.

Waktu kecil, gue nggak pernah nangis kalo ditinggalin orangtua gue pergi ke luar rumah. Tapi gue akan nangis kalau Bi Hani yang pergi. Saking deketnya gue sama Bi Hani. Hampir tiap malem, Bi Hani selalu nemenin gue begadang. Dulu gue belom tidur kalo belom pagi. Iya, sejak kecil gue emang berjiwa security shift malem.

Dalam pandangan gue yang jelas itu, Andi kecil memudar saat pergi ke balik sosok Bi Hani. Gue cuma bisa mendengar tawanya sambil menyebutkan nama Bi Hani. Suara langkahnya pun terdengar jelas. Tapi sosok Andi kecil sudah tak terlihat. Tinggal Bi Hani berdiri di depan jalan menuju rumah. Dia tersenyum. Gue nggak bisa membalas senyumnya. Sebagai gantinya, gue menghampirinya, kemudian semakin dekat, dekat, dekat, dan Bi Hani tetap diam. Gue memeluknya dari samping. Tatapan Bi hani lurus ke depan. Saat itu pula gue nangis. Gue nangis kayak anak-anak, persis kayak pas gue ditinggalin Bi Hani kabur. Waktu itu gue nggak pernah berenti nanyain Bi Hani ke Nenek gue. Setiap kali gue pengen ke Bi Hani, Nenek selalu jawab, "Bi Hani di jalan, sebentar lagi nyampe." Terus seperti itu sampai beberapa hari kemudian Bi Hani pulang.

Mimpi yang keliatan nyata itu jadi memudar di antara langit sore yang terang. Gue tetep meluk Bi Hani, sambil nangis kenceng, sama seperti yang dilakukan Mang Iyad. Bi Hani hanya diam dan gue bisa liat senyumnya dari samping. Setelah memerhatikan kupingnya, gue menyenderkan wajah ke pundaknya. Gue masih nangis... sampe mimpi itu membawa kami pergi...

Akhirnya gue terbangun di tengah malam. Gue cek hape, dan gue nggak bisa ingat waktu itu kebangun jam berapa. Ada bekas aer mata turun, dan gue sesegukan. Aneh. Mimpi itu sampe kebawa-bawa. Sampe sekarang gue masih belom bisa menemukan makna sesungguhnya dari mimpi itu. Tapi gue puas bisa melihat gambaran mereka berdua di masa lalu.

Comments

Popular Posts