Ini bukan cerita FTV
Di tengah
derasnya hujan, ia berdiri sendiri. Ia menengadah ke atas melawan turunnya
serbuan air. Wanita muda malang ini tak pernah lagi tertawa, atau minimal
tersenyum, sejak ia difoto untuk kartu mahasiswanya. Kekakuan yang telah lama
bersemayam dalam dirinya melekat untuk selamanya. Kesedihan yang telah lama ia
alami sejak kecil, membuat ia tak mampu lagi untuk senang. Setidaknya ia
beranggapan seperti itu. Malam sudah sangat dingin, sedingin perasaannya kepada
para lelaki. Kemudian, angin yang menghembuskan kedinginan itu meniupkan suara
yang membisikkan kata.
“Aku tahu
itu...”
Suaranya
serak. Membuat telinga siapa pun yang mendengarnya geli sekaligus menyebalkan. Napasnya
sangat terasa di leher si wanita.
“Hey, siapa
itu? Aku rasa kau butuh permen pelega tenggorokan,” ucap si wanita.
“Oh, justru
aku sengaja tak makan pelega tenggorokan demi memiliki suara ini.”
“Lalu apa
maksudmu berbisik padaku? Kaukira aku takut?” serunya menantang.
Angin
semakin kencang bertiup. Kemeja si wanita menggembung sedikit, terutama di
bagian dadanya. Membuat dada itu terlihat besar, padahal hanya angin.
“Itulah
wujudku. Angin yang kasat mata,” bisik si serak, yang suaranya kini agak
terdengar kencang.
“Aku tahu
kau pandai memilih bagian untuk ditiup.”
“Hanya
permainan kecil. Kuharap, lain kali, dadamu besar tanpa perlu kutiup.”
“Mesum.”
“Biar.”
Wanita itu
mencoba menjauhi suara itu dengan berjalan cepat. Namun, suara itu terus
mengikutinya. Kadang tertawa, kadang ngos-ngosan. Si wanita pun berhenti.
“Hah hah hah
hah hah...” Suara itu kembali tertawa.
“Sudah capek
masih bisa tertawa,” kata si wanita jengkel.
Suara itu tak lagi terdengar berbisik. Ia malah
tertawa sejadi-jadinya sampai batuk. “Aku
bersyukur masih bisa tertawa, " katanya.
Si wanita
kembali berjalan cepat dengan baju yang sangat basah. Kedua tangannya memeluk
tubuhnya sendiri.
“Hey, santai
dulu. Aku punya tawaran bagus.”
Si wanita
tidak mendengar. Sesungguhnya ia sangat tak ingin terlibat percakapan dengan
suara tidak jelas itu.
Suara serak
itu terus mengikuti, sampai akhirnya kewalahan juga.
“Kau hanya
benci mendengar suara tawa, kan? Hah? Kurasa hal itu telah membuatmu iri. Aku
tahu itu. Aku tahu kau menginginkan tawaku,” ucapnya tanpa basa-basi lagi. “Kutawarkan
suara ini padamu. Suara kesenangan yang takkan pernah berakhir.”
“Maksudmu?”
“Kau pasti
tahu maksudnya. Cukup dengan jiwamu yang sudah lama bersedih itu.”
Kini giliran
si wanita yang kewalahan. Suara itu mampu membuat akalnya kabur. Sehingga logika
dan irasionalitas sudah berbaur, menghancurkan batasan antara mungkin dan tak
mungkin. Ia pun jadi mempertimbangkan tawaran itu.
Segera
setelah itu, lampu jalanan meredup, kemudian perlahan mati dengan sendirinya. Geluduk
yang nyaring, membuat burung gagak berterbangan, entah dari mana datangnya.
Mereka mengerubungi kepala si wanita sampai mukanya pucat. Air hujan terlihat
sedikit merah, seperti tercampur darah.
Detik itu
pula wanita itu merasa senang. Ia tertawa, kemudian berlarian sepanjang jalan
yang diguyuri hujan. Sang tawa serak sudah berhasil menukar suaranya dengan
jiwa si wanita. Ia pura-pura tak bisa tertawa supaya si wanita percaya bahwa
suaranya benar-benar telah ditukar dengan jiwanya. Suara itu pun pergi dengan
raungan yang memudar.
Tak lama kemudian, dalam lariannya, si wanita melompat. Lalu dengan sengaja ia membanting
tubuhnya ke jalanan yang becek. Suaranya terkekeh satir. Matanya menjadi
sayu karena air yang terus berjatuhan menghantam maskaranya. Sesekali, terpikir
untuk berteriak, tapi ia kembali memertimbangkannya. Kalau ia teriak, suaranya akan
menyamai si serak yang wujudnya kasat mata itu.
"Bagaimana
aku bisa senang, sementara sekarang aku sedih karena mendapat kenyataan bahwa
aku oarng yang tak bisa lagi bersedih. Lalu, jiwaku, yang baru saja kujual,
kini telah jadi milik dia. Aku tak punya lagi jiwa. Aku bukan lagi
manusia."
Wanita itu
tertawa menuju kegelapan.
Comments
Post a Comment