Anggrek Sehabis Senja
Langit merona mengisyaratkan senja telah tiba. Laki-laki bersepeda dengan setangkai anggrek di keranjang depan. Ia datang ke lapang basket dengan sangat bergaya dan parfumnya refill. Dia keren sekali, katanya.
Tiga menit menunggu di sana. Oke ralat, sudah tiga puluh menit menunggu di sana. Ia menunggu seseorang yang lewat. Yang setiap hari pulang lewat sana dengan rok tertiup angin senja. Lelaki itu, telah jatuh hati sejak ia melihat perempuan yang lewat itu.
Dari kejauhan, tampaklah dua orang perempuan berlari kecil menyusuri jalanan yang tenang.
"Libur telah tiba. Libur telah tiba..."
Anjir, ini tiba-tiba ada Tasya Kamila. Jangan anggap dia!
"Nona!" Sapa si lelaki yang berada di seberang lapang.
Dua perempuan itu berhenti mendadak, lalu menoleh ke sumber suara. Lelaki yang kelihatan kecil karena jauh itu melambaikan tangan pada mereka. Kemudian dengan cepat ia menggerakkan sepedanya menuju mereka. Maka, dua perempuan itu terdiam, saling melihat satu sama lain.
Mereka bertiga sudah saling berhadapan. Salah satu perempuan itu tampak tenang meski orang-orang yang lewat terlihat agak gusar. Entah kenapa harus orang-orang yang gusar.
"Sungguh suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan nona di senja yang indah ini."
"Dengan siapa?" tanya salah satu perempuan, yang mengenakan pita di rambutnya.
"Nah, karena kamu yang bertanya, maka salam ini buat kamu," ucap si lelaki.
"Oh." Si perempuan hanya menjawab itu. Ia memandang temannya, lalu berbisik, "Kamu pulang duluan saja. Nanti orangtuamu khawatir. Aku ada urusan dulu, dan akan baik-baik saja. Pukul tujuh malam nanti kutelepon kamu, oke."
Temannya mengangguk lalu mereka berdadah-dadahan. Lelaki yang menjaga senyumannya juga ikut berdadah-dadahan. Tinggallah mereka berdua, si perempuan berpita dan lelaki parfum refill. Keadaan segera menjadi awkward meskipun keduanya saling menutupinya dengan tatapan-tatapan tenang.
"Ini saya," ucap lelaki itu sambil menyosorkan tangannya dengan terburu-buru. "Siapa namamu?"
Perempuan itu mengangguk. Mereka berjabat tangan untuk pertama kalinya, bertatapan untuk pertama kalinya, saling senyum untuk pertama kalinya. Walaupun kenyataannya si lelaki sudah sering melihat perempuan itu lewat.
"Ada apa?" tanya si perempuan.
"Aku suka kamu," jawab si lelaki. Ia memberikan anggrek di keranjang sepeda itu. Warna bunga yang aslinya putih itu tampak memerah karena senja dan mataharinya yang sepertiga tenggelam.
Si perempuan tak segera menerimanya. Ia malah bertanya untuk apa bunga itu diberikan.
"Ambil saja."
Si perempuan menimbang apa yang telah dikatakan si lelaki. Ia langsung berpikiran jika bunga ini diterima, berarti dia telah membuka hatinya pada si lelaki itu.
"Tapi aku belum suka kamu. Bagaimana, dong?"
"Aku tunggu sampai kamu suka."
"Aku nggak yakin. Karena biasanya aku butuh waktu lama untuk menyukai seseorang."
Tidak sedikit pun si lelaki terlihat kecewa. Ia malah sesegera mungkin agar anggreknya diterima si perempuan. "Senja di ambang batas. Kuharap kamu mau menerima anggrekku sebelum senjanya lenyap."
Tapi, apa daya, si peremuan malah sengaja berdiri untuk waktu yang lama, sampai akhirnya senja lenyap dari pandangan masing-masing. Matahari hanya terlihat sisanya, membuat gradasi langit dari biru tua ke jingga. Ia membiarkan setangkai anggrek itu menjadi berwarna keunguan karena cahaya langit saat itu.
Tiga menit menunggu di sana. Oke ralat, sudah tiga puluh menit menunggu di sana. Ia menunggu seseorang yang lewat. Yang setiap hari pulang lewat sana dengan rok tertiup angin senja. Lelaki itu, telah jatuh hati sejak ia melihat perempuan yang lewat itu.
Dari kejauhan, tampaklah dua orang perempuan berlari kecil menyusuri jalanan yang tenang.
"Libur telah tiba. Libur telah tiba..."
Anjir, ini tiba-tiba ada Tasya Kamila. Jangan anggap dia!
"Nona!" Sapa si lelaki yang berada di seberang lapang.
Dua perempuan itu berhenti mendadak, lalu menoleh ke sumber suara. Lelaki yang kelihatan kecil karena jauh itu melambaikan tangan pada mereka. Kemudian dengan cepat ia menggerakkan sepedanya menuju mereka. Maka, dua perempuan itu terdiam, saling melihat satu sama lain.
Mereka bertiga sudah saling berhadapan. Salah satu perempuan itu tampak tenang meski orang-orang yang lewat terlihat agak gusar. Entah kenapa harus orang-orang yang gusar.
"Sungguh suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan nona di senja yang indah ini."
"Dengan siapa?" tanya salah satu perempuan, yang mengenakan pita di rambutnya.
"Nah, karena kamu yang bertanya, maka salam ini buat kamu," ucap si lelaki.
"Oh." Si perempuan hanya menjawab itu. Ia memandang temannya, lalu berbisik, "Kamu pulang duluan saja. Nanti orangtuamu khawatir. Aku ada urusan dulu, dan akan baik-baik saja. Pukul tujuh malam nanti kutelepon kamu, oke."
Temannya mengangguk lalu mereka berdadah-dadahan. Lelaki yang menjaga senyumannya juga ikut berdadah-dadahan. Tinggallah mereka berdua, si perempuan berpita dan lelaki parfum refill. Keadaan segera menjadi awkward meskipun keduanya saling menutupinya dengan tatapan-tatapan tenang.
"Ini saya," ucap lelaki itu sambil menyosorkan tangannya dengan terburu-buru. "Siapa namamu?"
Perempuan itu mengangguk. Mereka berjabat tangan untuk pertama kalinya, bertatapan untuk pertama kalinya, saling senyum untuk pertama kalinya. Walaupun kenyataannya si lelaki sudah sering melihat perempuan itu lewat.
"Ada apa?" tanya si perempuan.
"Aku suka kamu," jawab si lelaki. Ia memberikan anggrek di keranjang sepeda itu. Warna bunga yang aslinya putih itu tampak memerah karena senja dan mataharinya yang sepertiga tenggelam.
Si perempuan tak segera menerimanya. Ia malah bertanya untuk apa bunga itu diberikan.
"Ambil saja."
Si perempuan menimbang apa yang telah dikatakan si lelaki. Ia langsung berpikiran jika bunga ini diterima, berarti dia telah membuka hatinya pada si lelaki itu.
"Tapi aku belum suka kamu. Bagaimana, dong?"
"Aku tunggu sampai kamu suka."
"Aku nggak yakin. Karena biasanya aku butuh waktu lama untuk menyukai seseorang."
Tidak sedikit pun si lelaki terlihat kecewa. Ia malah sesegera mungkin agar anggreknya diterima si perempuan. "Senja di ambang batas. Kuharap kamu mau menerima anggrekku sebelum senjanya lenyap."
Tapi, apa daya, si peremuan malah sengaja berdiri untuk waktu yang lama, sampai akhirnya senja lenyap dari pandangan masing-masing. Matahari hanya terlihat sisanya, membuat gradasi langit dari biru tua ke jingga. Ia membiarkan setangkai anggrek itu menjadi berwarna keunguan karena cahaya langit saat itu.
Comments
Post a Comment