BFD: The Spin Off
Mungkin itu adalah senja yang berisik.
Di antara himpitan anak-anak gaul labil yang bersemangat, saya memberi mereka
lagu Traitors milik Bring Me The Horizon. Tanpa mengalami latihan di studio,
saya diminta menjadi additional bandnya si Embi. Saya main gitar.
Seminggu yang lalu...
Di rumahnya sudah tersedia gitar lengkap
dengan ampli dan efek digital untuk selanjutnya saya ulik. Embi umurnya beda
tiga tahun dengan saya, dan mulai menjadi dewasa sejak kenal bokep dan
post-hardcore. Kurang dari seminggu, Embi mengontak saya untuk ikut di bandnya
itu. Jadi saya ke rumahnya hampir setiap hari, mengulik, membahas musik, dan
Mamanya yang baik suka bikin saya nggak enak. Gara-gara saya ke rumah Embi,
Mamanya jadi repot harus menyuguhi sesuatu yang bisa dimakan. Saya merasa kayak
leluhur karena harus disuguhi.
Embi dengan senang hati memperlihatkan video cover guitar lagu yang bakal kami bawakan nanti. Saya bilang nggak perlu repot-repot, saya bisa ngulikin sendiri, yang penting alatnya oke. Embi pun nyerah dan cuma ngasih tahu lagu-lagu yang bakal dibawain nanti. Tapi, lagu-lagu yang Embi pingin bawain kurang mengundang adrenalin penonton. Saya saranin dia bawain lagu Vampire Breath dan Shock on Shocker-nya Dr. Acula supaya gampang. Sisanya, Embi tetep minta bawain lagu Traitors.
Personil band Embi ada empat orang. Dia
sendiri jadi vokal, yang lain saya cuma kenal si Derek, pemain drum. Saya
ketemu mereka hanya beberapa hari sebelum hari H. Mereka lugu dan berasal dari
sekolah yang berbeda-beda. Saya nggak paham kenapa mereka mau dibentuk band
yang dimotori Embi. Tapi saya salut bahwa mereka cepat akrab. Dan, yang lebih
keren lagi, tak satu pun dari mereka yang mengusulkan latihan.
Si Derek, dia cuma latihan gerak-gerak
tangan dan kakinya di rumah Embi. Yang lain lebih kalem lagi. Mereka cuma
duduk-duduk, lihat-lihat video di Youtubem buka-buka sosmed. Sementara saya,
kayaknya cuma saya yang aktif ngulikin lagu.
Sebetulnya saya nggak punya gitar
listrik, apalagi ampli atau efek digital. Setiap kali datang ke rumah Embi,
kesempatan untuk latihan intensif lebih besar. Jadi, selain saya bantu di band
Embi, saya bisa ngulik gitar buat band tercinta saya BFD. Meski kadang BFD
kurang mencintai saya.
Seminggu berlalu, hari H sudah datang.
Senja berisik, crowd, panggung lima
belas senti, dan musik dimulai. Tanpa check
sound lama-lama, lagu pertama udah dimainkan. Anak-anak gaul labil
berkerumun di depan. Mereka nampaknya hapal dengan lagu yang kami bawakan.
Malahan, suara mereka lebih kencang dari suara si Embi. Saya jadi bersemangat gara-gara
melihat antusiasme mereka.
Saat yang lain jingkrak sana-sini, saya
main makin gila. Saya sempat mau naik ke bass drum, tapi kemudian crew di sana
mencoba menahan saya supaya tidak lepas kendali. Apa boleh buat, saya cuma bisa
turun ke lantai bersama anak-anak yang sudah bau keringat.
Lagu sudah masuk breakdown. Karena riff
gitarnya cuma dilepas saja, saya jadi bisa fokus memerhatikan penonton dan
sesekali lihat reaksi personil yang lain. Tiba-tiba, di paling depan barisan penonton
ada Ridwan. Entah kapan dia muncul, tapi rasanya jadi canggung ditonton teman
yang biasanya satu panggung. Mungkin aja dia sengaja nonton, mungkin aja
kebetulan. Sepanjang breakdown itu pun kami sempat-sempatnya ngobrol.
“Ngapain di sini?!” tanya saya.
“Nonton.”
“Maen, nggak?”
“Hah?!”
“MAEN NGGAK?!”
“Pengen nonton!”
Kemudian Ridwan angguk-angguk sambil
teriak-teriak kayak kesurupan Suzanna.
Biasanya Ridwan ada di gigs kalau dia
main sama bandnya. Sejak BFD vakum, kami berpencar dan mulai sibuk mengurusi
urusan masing-masing. Ada yang mulai ikut klub motor, juga si Agi entah ikut
apa tapi selalu sibuk kalau dihubungi. Yang mungkin masih sibuk ngeband,
mungkin cuma Ridwan, Fikri, dan saya. Nggak seperti saya yang cuma selewat aja,
di luar BFD, Ridwan sibuk diajak band ini-itu. Temen-temen nongkrongnya banyak
dan sudah pada tahu kalau dia hebat dalam main drum. Tidak kurang ada tiga band
di mana Ridwan menghandle drum di dalamnya. Tak kurang juga dua kali seminggu
dia main dengan band yang berbeda.
Saya pernah diajak bikin band dadakan
sama temannya si Ridwan. Dia itu anak yang kebanyakan duit. Hobinya ngontakin
cewek-cewek gaul. Gak ada hubungannya, sih, sama ngeband.
Oke, lupakan teman si Ridwan. Saya bisa
lihat totalitas Ridwan dalam main drum. Dia nggak memandang bahwa di band
tersebut Ridwan jadi additional atau bukan. Dan selama saya nggak ngeband
dengan BFD, saya sering dengar Ridwan main bagus meski bermain di band orang.
Bisa jadi jam terbangnya yang semakin tinggi membuat dia jadi jago. Ini yang
membuat saya nggak mau kalah sama Ridwan. Saya pun jadi ber-mind set bahwa saya
harus main bagus meski bukan dengan BFD.
Penonton tepuk tangan. Ridwan masih
teriak-teriak. Lagu sudah lama selesai.
Ada jeda sebentar sebelum kami
melanjutkan lagu terakhir. Saya pingin mengelap keringat. Anak-anak yang lain
terlihat tidak berkeringat sama sekali. Justru si Embi malah terlihat tanpa
ekspresi. Si drummer dengan santai ngasih aba-aba. Saya bilang tunggu dulu, mau
ngelap keringat sebentar.
Lanjut lagu terakhir. Saya memasang kaki
kuda-kuda sebagai tanda siap.
“Traitors, Wan!” bisik saya.
“Oke!”
Sebelumnya, Traitors-nya BMTH ini sering
saya bawakan bareng BFD. Sekarang saya membawakannya bersama band orang. Jadi
additional pula. Tapi dengan siapa pun bandnya, kalau membawakan lagu ini,
pasti panggungnya jadi ramai. Yang moshing
ugal-ugalan, yang main sama gilanya. Seolah lagu ini punya daya magis
tersendiri saja.
Riff pertama baru dimainkan, penonton
sudah angguk-angguk aja. Saya liat ke arah pintu masuk. Orang-orang yang
tadinya cuma nongkrong di luar, sekarang ikut tenggelam di depan panggung
sempit ini. Tidak semua, sih. Sebagian ada yang berdiri di sisi ruangan.
Beberapa band yang main di jam-jam awal juga ada.
Riff gitar breakdown. Bagian ini yang
paling ditunggu saya. Mungkin sebagian penonton juga, karena bagian ini enak
buat angguk-angguk. Ketika lagu sudah masuk vokal lagi, himpitan penonton makin
panas. Saya bisa merasakannya malam itu. Dengan penuh semangat, si ridwan ikut
nyanyi. Saya merhatiin dia, seolah dia nggak ada capeknya. Padahal dia cuma
nonton. Nggak kayak saya, harus pegang gitar sampe lagu selesai.
Akhirnya selesai. Penonton tepuk tangan.
Terakhir kali dimoshingin seperti ini,
ketika main beberapa bulan yang lalu bareng BFD. Itu salah satu event yang
lumayan besar di Sukabumi. Mungkin itu adalah momen paling berkesan dengan BFD
sebelum akhirnya vakum. Setidaknya, kami vakum dalam keadaan yang bagus, di
mana saat itu nama kami mulai naik dan lagu kami masuk radio sebelas minggu
berturut-turut. Ah, di saat begini, saya merasa betapa ngeband itu penuh dengan
kebaperan.
Habis main bareng Embi, saya nggak
berlama-lama di tempat. Anak-anak yang lain juga ngajak keluar, cari udara
seger. Saya lihat si Ridwan udah pergi sama temennya, nggak tahu ke mana. Biar,
besoknya juga saya ketemu lagi di kelas, dan pasti ngebahas acara hari ini.
Saya pun segera pulang untuk duduk di teras rumah mikirin BFD lagi.
Comments
Post a Comment