Untuk Kawan yang Menjelang Pelaminan
Kami punya seorang teman cewek. Teman
lama. Dia cantik, imut, dan disenangi banyak orang. Rasanya kalau figur cewek
cantik itu memang harus seperti itu. Meski kadang sikapnya cuek, orang-orang
sekitar hampir seperti tidak pernah menyerah untuk mengenalnya. Mereka datang
dan pergi untuk mengobrol sesuatu yang bahkan tidak terlalu penting—yang
pastinya cuma buat mendekati teman kami itu. Sementara si cantik menanggapinya
dengan biasa, seperti ia sudah sering banyak mendengar omongan basa-basi. Ia
mendengarkan, tersenyum, menjawab seperlunya. Tetapi sikapnya tak membuat kebaikannya
terlihat kurang di mata orang. Dan seperti itulah ajaibnya teman kami itu.
Sekarang, seperti kabar yang saya dengar
dari burung-burung, ia mau menikah. Saya, seperti juga kawan-kawan saya
lainnya, menjadi terkejut saat mendengarnya. Saya tidak mencari tahu dengan
siapa ia menikah. Karena saya sudah tahu dengan calon suaminya itu, ia telah
berpacaran cukup lama. Saya tidak tahu kapan tepatnya ia mulai menjalin
hubungan dengan pria itu. Terakhir bertemu dengannya mungkin sewaktu di acara
musik di cafe malam itu, dua tahun yang lalu. Itu pun saya tidak sempat
menyapa. Saya waktu itu tidak ingin mengganggu momen dia bersama pacarnya. Dan
dari situlah saya tahu dia tidak pernah berganti pacar lagi sampai sekarang.
Begitu cepat kabar itu terdengar. Teman-teman
saya tiada hentinya membicarakannya. Ia menjadi topik hangat di kalangan
teman-teman. Padahal ia belum tentu menjadikan teman-teman saya topik hangat. Saya
pribadi tidak ingin terlalu membesar-besarkan. Hanya saja saya menyesali
keputusannya untuk menikah muda. Karena dengan menikah muda, kami menjadi terlihat
lebih tua saja. Kedua, dia menikah seolah ingin membuat orang-orang yang ingin
kepadanya tidak diberi kesempatan. Atau, ya, seperti itulah cara dia menutup
kesempatan bagi orang lain.
Bukan saya tidak ingin. Tapi, seperti
kata banyak teman, masih banyak cewek lain. Tapi juga, bukan itu masalahnya. Saya
menyukai kecantikannya. Hanya kecantikannya. Oh, dan kepribadiannya yang ajaib.
Tidak seperti teman saya. Dia sampai hati menyukainya. Benar-benar menyukainya
untuk kelak dicintai seperti layaknya kekasih, dan berakhir menyesal karena
ternyata cintanya ditolak. Ah, jangan pikirkan teman saya. Lagi pula, saya
menghargai kawan saya yang cantik ini sebagaimana manusia diberi kebebasan
untuk memilih. Dan kawan saya telah memilih seseorang untuk dijadikan pasangan
hidupnya. Kami turut bahagia meski tampaknya ia punya selera yang tidak biasa:
calon pendampingnya berwajah tua dan berkacamata. Saya biarkan ia mewujudkan
fantasinya hidup dengan pria berwajah tua dan berkacamata.
Enam bulan berlalu. Foto
pra-pernikahannya disebar di sosmed. Saya melihatnya. Teman saya melihatnya.
Bahkan teman saya yang tidak melihatnya saya suruh melihatnya. Ia terlihat
cantik dengan gaun putih dan background batu karang dan air laut. Alisnya yang
sebetulnya tipis, dipertebal dengan pensil alis. Cantuiknya belum luntur. Namun
resah di wajahnya tidak bisa ia sembunyikan dari saya. Atau saya hanya merasa
ia resah.
Saya ingat sewaktu dulu, saat kami masih
sama-sama polos. Dia selalu duduk di bangku khusus cewek-cewek. Saya selalu
menyebut bangku khusus cewek-cewek karena bangku-bangku itu selalu diduduki
murid cewek; satu baris meja dan bangku ditempati para cewek. Dia ada di sana
bersama sekerumunan cewek-cewek. Saya kadang memerhatikannya. Tiga tahun kami
sekelas, wajahnya tidak pernah terlihat murung. Kalau pun seandainya ia pernah
murung saat itu, mungkin tidak pernah di depan saya dan murid-murid lain.
Itulah kenapa saya berani berkata bahwa di foto pra-pernikahannya, ia terlihat
tidak seperti dulu.
Apa di usianya yang sudah pantas menikah
membuatnya resah? Kalau begitu, untuk apa ia harus menikah sekarang? Saya tak
habis pikir dengan apa yang saya pikirkan. Kenapa saya jadi seresah teman saya?
Bagaimana kalau ternyata dia sebenarnya tidak resah? Apakah tatapan mata dan
wajah yang resah adalah bagian dari suatu pernikahannya? Seperti semacam ritual
bahwa ia tidak melulu harus menunjukkan kebahagiaannya tatkala pernikahannya
sudah mulai menjelang. Beritahu saya, kawan. Kita tidak banyak bercerita
seperti layaknya saya dengan sahabat terdekat. Tetapi, saya kenal kamu dan
semua orang yang kenal kamu perlu tahu mengapa begitu. Kawan, segera setelah
kamu tahu tulisan ini buatmu, tolong jawab meski cuma dalem hati. Saya bisa
baca apa yang kamu ingin bicarakan ke saya, kecuali satu: keresahanmu.
Sekarang saya bertanya-tanya lagi.
Kenapa jadi melankolis gini, ya? Padahal saya cuma mau menceritakan kamu, teman
yang baik nan cantik.
Kalau diundang—atau kalau teman saya
mengajak—saya akan datang ke resepsi pernikahannya. Saya akan memberikannya
kado istimewa dengan balutan kertas elegan, menyalaminya dengan lembut, dan
membisikinya, “Selamat menempuh hidup baru. Semoga lancar... sidang cerainya.”
Sepertinya kata-kata terakhir itu bisa saya contek untuk saya ucapkan pada sang mantan jika dia menikah kelak^^
ReplyDeleteSo, ceritanya kamu diundang nggak nih di resepsinya?
haha, aku ragu nanti mantan kamu gak jadi nikah kalo dikasih kata-kata ini
Deleteaku bisa nyamar jadi penghulu kalo sampe gak diundang
Loh, kenapa malah jadi ragu?
DeleteIya, ya. Jadi siapa yang harus ragu? Kamu mau gak?
DeleteDuh, kok saya jadi ragu ya bisa atau nggak ngucapin kata-kata itu?
ReplyDeleteNah, ragu ternyata datangnya tiba-tiba.
ReplyDeleteKita butuh keberanian! Kita butuh keberanian! *orasisendirian
Apa kita punya?