Mengapa Mesum
“Hi, name is Clementine,”
Setiap kali mendengar kata Clementine,
yang tertangkap oleh kuping saya justru malah kata Klentit! Yeah, kalau ditulis
dengan ejaan eropa jadinya bakal Clentite. Sudah gila! Saya nggak mengada-ada.
Kuping saya sudah terkontaminasi, dan otak saya membiarkannya. Entah pikiran
saya rusak atau emang sayanya aja yang mesum.
Semasa di bangku sekolah, anak-anak
kelas menobatkan saya sebagai ‘si mesum’. Bukan, bukan karena saya senang
melakukan pelecehan seksual, tapi dulu saya terkenal karena jokes saya yang
berbau blue materi. Saya mendapat banyak teman karena itu pula.
Di sela-sela penatnya belajar di kelas,
saya senang membuat komik. Komik yang saya tulis bukan komik seperti yang biasa
dibaca orang-orang. Saya membuat komik seks dengan bumbu humor.
Ada banyak komik sejenis yang saya buat
selama duduk di bangku sekolah. Salah satu yang paling saya ingat adalah komik
tentang seorang anak yang kecanduan film porno, kemudian mencintai seekor
kucing betina. Memang saya menyelipkan pesan moral di dalamnya. Tapi, anak-anak
terlalu menikmati ceritanya dan gambarnya yang vulgar.
Sering kawan-kawan saya semacam request.
Tentu saya akan membuatnya dengan senang hati. Saya pikir, selama apa yang saya
buat bisa menghilangkan stres, mengapa tidak. Saya pun tidak mengalami
kesulitan saat membuatnya. Tinggal kita membayangkan hal-hal sekitar, mengada-ada
cerita, campurkan dengan film-film dewasa yang pernah kita tonton—oke ini aib,
tetapi saya tidak malu mengatakannya—terakhir, tuangkan dalam bentuk narasi dan
gambar, jadilah sebuah komik. Mereka pun senang.
Kawan sebangku saya selalu merasa
beruntung jadi pembaca pertama. Setidaknya begitu dari yang pernah saya tanya.
Dan kalau jam pelajaran benar-benar kosong, anak-anak cowok lainnya mengerubungi
meja saya untuk melihat proses menggambarnya. Anak-anak cewek paling tidak
mencari tahu mengapa di meja saya anak-anak cowok pada tegang sambil
senyum-senyum.
Ingin sekali saya tunjukkan bukti kalau
saya pernah membuat komik-komik itu. Tetapi, sejak dulu, setiap kali membuat
komik seperti itu, tidak satu pun ada yang pernah saya bawa pulang. Setiap
anak-anak cowok di kelas ingin membawanya ke rumah masing-masing. Biasanya anak
yang membaca terakhir akan menyelipkannya di tasnya, lalu lenyap begitu saja. Atau
kalau kalian bosan dengan pernyataan saya, kalian bisa mencurigai salah satu
cewek di kelas saya sebagai pencuri komik seks saya. Apalagi kalau bukan isinya
yang ekstrim itu, gratis pula.
Selain komik-komik ciptaan saya yang
tidak senonoh, saya selalu melontarkan lelucon-lelucon kotor dari hal-hal
sekitar yang saya tangkap dan amati. Hampir selalu begitu. Anak-anak pun
menanggapinya dengan tawa pecah. Dan itu membuat saya terus menerus melakukan
itu; karena saya senang melihat mereka tertawa terbahak-bahak dengan lelucon
saya, menjadikan saya dijuluki super mesum.
Belum percaya kemesuman saya?
Oke, begini salah satunya. Dulu, di SMP,
ada seorang guru bernama Barzas (salah satu huruf saya diganti supaya namanya
bukan sebenarnya). Beliau adalah guru TIK berpenampilan terlampau alim. Baju
lengan panjang, celana panjang (pastinya bukan celana lejing motif koran),
pakai kopiah rotan. Di masa-masa awal, karena kopiah rotannya, anak-anak
menjulukinya si Peci Rotan. Dan kalau beliau lagi lewat, saya selalu
membayangkan langkahnya diiringi lagu Hadad Alwi atau sejenisnya.
Sebetulnya, nggak ada yang salah sama
guru tersebut. Hanya saja, dia sering terlihat marah-marah; mungkin karena
emang bentuk wajahnya yang terkesan arogan. Karena kami masih muda dan
berbahaya, hampir semua anak cowok di kelas saya kurang senang—kalaupun ada
anak cowok yang merasa biasa saja, kami doktrin supaya mereka memandang guru
tersebut dari sisi buruknya.
Pada suatu siang, di lantai dua ruangan
Bahasa Inggris, Pak Peci Rotan, ehm, anu, maksud saya Pak Barzas sedang
terlihat mau masuk ke ruangan TIK. Saat itu, ruangan TIK kerap kali sepi,
karena biasanya ruangan tersebut hanya digunakan ketika ada praktek saja.
Prakteknya pun jarang-jarang dan guru-guru TIK lebih senang memberikan teori
lewat buku paket yang ada. Atau tepatnya lebih senang menyuruh murid membaca,
kemudian guru-guru pergi sampai kami menikah.
Kami, adalah anak-anak kelas yang
kompak. Jadi siang itu, berhubung guru Bahasa Inggris sedang ada halangan, kami
berkumpul sambil mengamati anak-anak yang ada di lapangan. Sejurus kemudian,
secara bersamaan, kami mengamati gerak-gerik Pak Barzas yang masuk ke ruangan
TIK. Sambil saling memandang satu sama lain, kami bertanya-tanya apa yang lagi
dia lakukan.
Saya orang yang mudah terpancing untuk
mengomentari seseorang. Apa pun itu. Ketika ada seseorang lewat di hadapan
saya, mesti saya perhatikan di mana bagian anehnya, kemudian saya ceritakan
pada teman saya, kadang saya campur dengan khayalan saya supaya terkesan ‘wah’.
Sampai sekarang pun saya masih melakukannya. Itu seperti hal yang membuat
kepekaan saya bertambah setelah melakukannya. Tetapi gara-gara itu, saya juga
pernah mendapat teguran kecil dari kawan saya supaya jangan berlebihan
mengomentari orang.
Dan, dengan begitu mengalir, setelah berimajinasi
dengan apa yang beliau lakukan di dalam ruangan tersebut, saya mulai menyebarkan
isu kepada anak-anak bahwa di dalam kopiahnya menumpuk DVD bokep best of the
best yang sudah ia kumpulkan semasa hidupnya.
Awalnya sih saya bilang itu ke satu anak
saja. Kemudian, kawan saya tertawa cekikikan seperti baru mendapat ilham yang
menggelitiki pikirannya. Nah, karena cekikikan tersebutlah, anak-anak yang lain
bereaksi dengan cepat ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dengan cepat, mindset
anak-anak rusak oleh imajinasi saya. Bodohnya, saya lanjutkan dengan berbagi
fitnah kepada mereka kalau Peci Rotan baru saja menonton DVD-nya di ruangan
TIK. Siang itu pun pesona alim Peci Rotan luntur di mata anak-anak. Gegara saya,
tentunya.
Keesokan harinya, dan hari-hari
selanjutnya, setiap kali anak-anak melihat Pak Barzas, mereka membicarakan hal
yang tidak-tidak tentang beliau. Gerak-gerik beliau selalu dicurigai. Seolah
apa pun yang dilakukan Pak Barzas selalu salah di mata kami. Pernah, beberapa
kali, Pak Barzas membenarkan kopiahnya yang miring. Saat itu anak-anak yang
melihatnya langsung ketawa terbahak-bahak. Mereka beranggapan DVD-nya terlalu
penuh, sehingga kopiahnya miring tidak stabil, yang membuat kopiah dan
kepalanya tidak kuat lagi menahan DVD-DVD tersebut. Anak-anak pun kerap kali membuat
kode-kode miring seperti, kalau Pak Barzas masuk ke ruangan TIK yang kosong, berarti
beliau sedang kangen dengan DVD-nya. Kalau Pak Barzas pergi ke WC, itu berarti
beliau akan junub atau semacamnya. Kalau Pak Barzas memberikan kuliah di
hadapan anak-anak, itu berarti beliau sedang memperkuat citranya sebagai guru
berwibawa. Yang terpenting, kalau Pak Barzas mulai marah-marah, berarti salah
satu koleksi DVD-nya baru saja hilang.
Tiga tahun bersamanya. Entah sudah
berapa banyak dosa yang saya cetak untuk lelucon Peci Rotan. Kayaknya, jika
teman saya yang membuat lelucon tentang beliau, saya tetap kebagian dosanya.
Begitulah adanya. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa menikmati lelucon dari ketidaktahuan orang tersebut sebagai bahan lelucon adalah tidak bagus. Tetapi, Peci Rotan akan selalu di hati kami. Berita dan fakta palsu tentangnya yang kami buat belum akan pernah pudar; di samping masih relevan untuk dibahas oleh kawan-kawan saya. Dan akan selalu jadi bahan obrolan di setiap reuni kami.
Begitulah adanya. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa menikmati lelucon dari ketidaktahuan orang tersebut sebagai bahan lelucon adalah tidak bagus. Tetapi, Peci Rotan akan selalu di hati kami. Berita dan fakta palsu tentangnya yang kami buat belum akan pernah pudar; di samping masih relevan untuk dibahas oleh kawan-kawan saya. Dan akan selalu jadi bahan obrolan di setiap reuni kami.
Kiranya, kalian paham mengapa saya
membeberkannya di sini. Pesan moralnya mohon untuk tidak melakukan hal-hal
seperti ini. Saya harap, tidak akan ada lagi anak-anak yang seperti saya:
membuat lelucon kotor dari objek yang tidak semestinya. Kalau kalian sudah atau
sedang memulainya, tolong hentikan segera. Kalian harus menyesalinya di awal,
pergilah ke rumah ibadah, lakukanlah taubat.
Dan dengan cerita ini, saya turut
meminta maaf kepada pihak yang bersangkutan atas perbuatan saya di masa lampau
(itu pun kalau kalian merasa pernah saya jadikan objek lelucon atau apalah itu,
kalau tidak tahu segeralah sadar bahwa kalian pernah dijadikan bahan lelucon). HIDUP
PECI ROTAN! Aduh, kumat lagi. Saya minta maaf lagi. Kali ini yang
sebesar-besarnya.
Hai Blenk. Saya nominasikan blog anda untuk Sunshine Blogger Awards 2016: http://eigarebyu.blogspot.co.id/2016/08/the-sunshine-blogger-awards-2016.html
ReplyDeleteSilahkan kunjungi postnya. Good luck. -Radira-