Ranggila
Di suatu pagi buta yang dingin, di saat
tukang nasi goreng udah pulang tiga jam sebelumnya, saya masih berkirim email
dengan bantuan koneksi wifi sehingga membuat saya harus duduk di depan laptop
yang berembun.
Berhubung itu jam nanggung bagi sebagian
besar orang-orang, tempat wifi sepi sekali. Cuma ada saya dan seorang wanita
tua yang sudah masuk toilet dua kali. Sejak awal, dia sudah mondar-mandir di
sekitar, dan saya tetap memerhatikannya. Petugas kebersihan tanpa seragam
dinas, pikir saya.
Di hadapan saya, dia memunguti
sampah-sampah gelas bekas kopi yang terlalu banyak berjejer di meja. Saya
sedikit kagum dengannya. Sepagi itu dia sudah membersihkan area wifi umum ini.
Bener-bener petugas kebersihan yang rajin dan berdedikasi tinggi.
Tetapi, setelahnya, dia menggumamkan
kata-kata yang tidak bisa saya dengar tentunya. Rasa kagum saya sedikit turun
karena saya mengira dia mulai stres dengan pekerjaannya, lalu melampiaskan
dengan bergumam.
Dan setelahnya lagi, saya sudah tidak
kagum karena melihat dia berdiri di hadapan saya sambil menaikkan roknya dan
menggaruk pantatnya. Tepat di hadapan saya dan laptop saya. Saya serius.
Pantatnya kotor. Dia menggaruknya dengan khidmat nan nikmat.
Kemudian saya teringat kawan saya yang
pernah nanya ke saya, “Orang gila nyadar gak, ya, dirinya gila?”
Sambil sesekali membayangkan orang gila,
saya cuma dapet jawaban, “Kalo dia tau dirinya gila nanti jadi pura-pura waras.
Terus, nanti orang-orang mengira dirinya beneran waras.”
“Tapi orang waras aja banyak yang
bertingkah gila,” jawabnya.
Saya kembali membayangkan orang-orang
sekitar saya yang pernah saya perhatikan...
“Iya, sih,” kata saya. “Waktu nongkrong
di kafe itu, saya sempet merhatiin cewek. Kayaknya, sih, dia itu tipe pendiem,
kalem, dan manis. Tapi ekspektasi saya hancur begitu dia ngeluarin hape. Tanpa
merhatiin sekitar, dia melakukan selfie dengan brutal. Dengan angle yang dia
mau. Dengan banyaknya pengulangan sampai dia merasa puas dengan hasil fotonya.”
Masih banyak lagi yang harusnya saya
katakan tentang kegilaan orang-orang waras. Tetapi saya sudah keburu dapet satu
kesimpulan: bahwa hari ini, batasan antara gila dan waras sudah semakin kabur.
Pikiran saya flashback ke beberapa taun
yang lalu, di mana saya lagi reuni anak-anak SMA. Hari itu kami pergi ke tempat
es buah yang letaknya di pinggir jalan gitu. Pas saya lagi nikmat-nikmatnya
menyantap es buah, tiba-tiba dari jauh muncul seorang ibu-ibu dengan penampilan
aneh. Palanya gundul, pake jaket sporti lusuh, celana pendek, bawa peluit
tukang parkir, dan pake kaos kaki beda sebelah tapi pake sendal jepit. Saya
pikir dia lagi berdandan ala visual kei.
Karena mungkin di tempat es buah jadi
rame sama kita—karena kita yang lagi cekikik-haha-hihi—perhatian si ibu-ibu itu
teralihkan ke kami. Perasaan saya mulai gak enak. Dia makin deket, makin deket,
dan... Dia nyanyi lagu L’arc~en~Ciel.
Nggak, saya bercanda. Nggak mungkin dia
apal lagunya L’arc~en~Ciel.
“Nakanaide, nakanaide. Daisatsuna hitomi
e~”
Yaaah, dia beneran nyanyiin lagunya
L’arc~en~Ciel.
Oke, itu ngarang.
“Hey, Jon!” sapanya.
Entah ini takdir Tuhan atau gimana, hari
itu saya kebagian duduk di bangku paling ujung deket jalan banget. Dan dia
berdiri tepat di samping saya. Beneran nih, perasaan saya langsung gak enak.
Nggak salah lagi dia itu anu.
“Jon!”
Sontak, anak-anak yang awalnya haha-hihi
langsung pada diem semua. Saling lirik gak enak. Saya sendiri langsung panas
dingin. Badan kaku. Bahkan saya nggak berani ngelirik ke dia. Kalo mau tau,
perasaan dideketin orang gila sama kayak kamu tepat berada di samping pujaan
hati: grogi. Bedanya cuma di bau sama atmosfernya sedikit agak black metal.
Kemudian saya ngelirik ke temen di
sebelah saya, Bocin namanya. Kawan saya ini badannya gemuk, keringetan, mukanya
mesum. Saya colek perut dia sambil ngomong pelan supaya si Bocin mau gantian
tempat sama saya. Dia sih keliatannya biasa-biasa. Nggak kayak saya.
“Udah, santai aja,” katanya.
Bocin ada benernya. Seperti yang pernah
diberitakan Discovery Channel, kalo ada ular yang mendekat, kita jangan
bergerak atau pun bersuara. Jadi saya melakukan hal yang sama ke si orang gila.
Tapi yang terjadi, si orang gila malah merhatiin saya.
“Udah, santai aja,” kata si Bocin lagi.
Saya langsung ngelirik si Bocin.
Ternyata dia bilang santai bukan ke saya. Tapi ke temen saya di sebelahnya.
“Hey, Haji Agus!” ucap si orang gila.
Semua masih diem. Gue mulai mencerna, kepada
siapa sapaan itu dituju. Sambil kepala tetap menunduk, saya berpikir keras. Memang
ada kawan saya yang namanya Agus, tapi hari itu dia gak bisa hadir. Lalu kepada
siapa sapaan itu dituju?
“Hey, Haji Agus! Kok, sekarang gak gemuk
lagi?”
Keringet saya membasahi punggung,
kemudian menjulur ke pantat.
“Cin, dia nanya ke elo tuh!” seru temen
saya.
Karena saya masih nunduk, saya cuma bisa
mengenali itu suaranya Ijal. Orangnya sipit, gemuk, kalo jalan-jalan suka pake
kemeja kotak-kotak. Dia enak, posisi duduknya di tengah-tengah. Agak jauh sama
si orang gila.
“Iya, ini nih Haji Agus mah,”
Ini lagi! Temen saya yang lain malah
ikut-ikutan. Selidik demi selidik, ternyata anak-anak sepakat nunjuk si Bocin.
“Coy, kampret lo. Kenapa gue yang
ditunjuk jadi Haji Agus?!”
“Hey, Haji Agus kenapa gak gemuk lagi?”
ulang si orang gila.
“Iya, nih. Haji Agusnya sakit,” jawab
temen saya.
Anak-anak malah ketawa. Suasana jadi gak
setegang pas awal. Saya jadi sedikit punya keberanian. Kemudian saya menoleh ke
anak-anak. Mereka masih ketawa-ketawa. Saya kira mereka takut sama orang gila,
padahal sama gila. Habis itu, si orang gila malah pergi ke tengah jalan dengan
peluitnya yang berbunyi nyaring. Mungkin dia menyangka itu memang Haji Agus
yang tidak bisa menjawab pertanyaannya, dan merasa lebih baik dirinya berperan
sebagai juru parkir.
Jujur, saya ini phobia sama orang gila.
Banyak orang yang lebih milih takut sama hantu, preman, kecoa, atau waria. Saya
tetep paling takut sama orang gila. Saya punya trauma sama yang namanya orang
gila.
Ketika orang gila bermimpi, mungkinkah dia memimpikan dirinya waras? Here we go! |
Dan beberapa hari yang lalu, sebelum
nulis ini, saya dan seorang kawan saya sedang hunting bebas. Dan di trotoar
pusat kota, saya mendapat kesempatan bertemu orang gila lagi. Sungguh saya
merasa terhormat sekaligus tersanjung.
Kali ini orang gila dengan kostum yang
tidak begitu lusuh tetapi meyakinkan saya dia gila hanya dengan sekali tatap
saja. Dengan perasaan yang sama, saya bilang ke teman saya, “Jangan berdiri di
sini, ada orang gila.”
“Emang kenapa? Cuma orang gila, kok.”
“Saya takut sama orang gila,”
“Loh?” Dia mengernyitkan dahi.
“Loh kenapa?” tanya saya.
“Bukannya kamu juga gila?”
Saya diem. Mencoba menyangkal tetapi
membenarkan.
“Liat! Penampilan aja udah gila.”
Saya diem. Mencoba melihat ke dalam diri
saya.
“Hey, Jon!”
Comments
Post a Comment