Sebuah Surat: Teruntuk Kamu yang Berlalu
Aku coba bangun pagi untuk mengecek
cerahnya hari yang akan dijelang. Kuabsen benda angkasa yang biasa bergaul di
atas sana. Matahari ada, awan ada, langit siap, dan lain-lainnya menyertai
ketiga benda tersebut. Namun Sabtu pagi ini ternyata dingin dan mendung.
Kemudian hujan. Kemudian hening. Aku diam.
Teh panas yang kubuat pagi ini dingin
dengan sendirinya. Sisa gula yang belum teraduk masih mengendap di dasar gelas,
dan aku membiarkan sendok setengah tenggelam dalam gelas beling yang tinggi.
Selain menghadapi panas dalam, aku tengah memikirkan mimpi semalam yang entah
berapa kali berganti. Aku tidak bisa ingat seluruhnya, tapi yang paling aku
ingat adalah mimpi tentang kamu. Setidaknya begitu karena mimpi itu belum sepenuhnya
pudar dalam ingatanku.
Seringkali mimpiku mengalun dengan kisah
yang terlalu abstrak. Ketidakmampuankulah yang membuat mimpiku sulit
kumengerti. Logika kita dikesampingkan karenanya, dan bodohnya kita selalu
percaya bahwa saat mengalami mimpi, kisahnya seolah benar-benar sedang terjadi.
Lalu ketika kita terbangun, hanya beberapa per sen yang tersisa di kepala.
Terlalu sulit untuk diartikan, terlalu sulit untuk diputar kembali. Itulah
mengapa hanya mimpi tentangmu yang bisa aku ingat. Mimpi tentangmu selalu kuat
mengakar dalam kepalaku.
Di dunia nyata, aku tidak bisa
membayangkanmu dengan jelas. Sementara di mimpi, wajahmu saja begitu detail,
bahkan sampai ke pori-porinya. Aku bisa lihat ada satu-dua jerawat yang memerah
di keningmu—walau aku kurang hafal apa di dunia nyata kamu masih memelihara
jerawat-jerawat itu.
Sebisa mungkin aku terus menyelami
mimpi-mimpi tentangmu yang tersisa. Suara hujan turun pagi hari membantu
mengingat apa yang aku dan kamu lakukan dan katakan dalam mimpiku. Langit yang
sendu di balik jendela membawa perasaan syahdu ketika aku bersandar di bangku
yang biasa aku duduki tiap malam. Biasanya bangku itu selalu gagal membawaku ke
alam imajinasi tentangmu. Tapi kali ini, bangku itu terdorong kemauannya untuk turut
membantuku mengingat.
Kemudian terbersit keinginanku untuk
mengumpulkan semua mimpi tentangmu. Menjadikan potongan-potongan mimpi itu
seperti sebuah tayangan yang jika aku ingin mengangankanmu, tinggal kuputar
saja dalam kepalaku. Kiranya kamu sudah paham mengapa aku harus melakukan semua
ini.
Hujan semakin deras ketika aku mulai menyeleksi
memori mimpi tentangmu. Aku memilah-milah mana yang menurutku keren. Mimpi
memang lebih liar dari yang bisa kita perkirakan. Hampir semuanya keren.
Sehingga aku sulit membedakan mana bagian mimpi yang bagus dan bagus sekali. Ada
mimpi di mana kamu berjalan di atas air. Hampir seperti Naruto, tetapi ini
kisahnya lain. Di situ kamu mendapat adegan menabur bunga anggrek ungu,
kemudian kelopak demi kelopak terbawa angin, sebagian mengambang di atas
permukaan air.
Lalu mimpi di mana kamu duduk
membelakangiku. Menyongsong dunia luar lewat jendela tengah apartemen lantai
atas. Kamu berdiri memejamkan mata, aku memandangi bahumu yang putih, dan
perasaan kita membungkam gravitasi. Lompatan kita tak membuat jatuh sama sekali.
Dan mimpi di mana kamu tersenyum hingga
membuat matahari bertekuk lutut di antara langit yang biru. Kamu cantik,
tetaplah seperti itu. Tetaplah dengan senyuman supaya kecantikanmu tetap utuh.
Aku akan ikut menjaganya. Aku akan ikut mengurusnya. Aku tidak mau wajah
cantikmu babak belur hanya karena terlalu serius bergelut dengan kerasnya hidup
ini. Hidup yang keras hanya terjadi di dunia nyata. Aku tidak tahu kamu telah
menjalani hidup seperti apa selama tidak bersama. Tapi sekarang, biarkan aku
fokus dengan sisa mimpiku, yang dihadiri kamu dalam mimpi-mimpi tertentu.
Kenangan tentangmu dan mimpi tentangmu
adalah dua hal yang berbeda. Kenangan tentangmu adalah hal yang sudah terjadi
di dunia yang fana ini. Hal yang berlalu dan sudah melalui proses menjadi
sebuah ingatan. Dan mimpi tentangmu adalah hal yang belum tentu bisa terjadi di
dunia yang kita tinggali ini. Dunia yang sekarang dihuni oleh aku dan kamu yang
saling berjauhan. Bahkan aku tak tahu di belahan bumi mana kamu tinggal
sekarang.
Aku hanya tahu kamu jauh. Makanya aku
diam di sini supaya rindu ada gunanya. Kalau sudah di depan mata, mungkin jadi
lain hasratnya. Begitulah aku membesarkan hatiku yang sudah terlalu jauh
denganmu. Andai dunia nyata dan dunia mimpi saling terhubung, aku bisa menarik kamu
yang ada di mimpi ke dunia nyata milikku. Tanpa perlu mengingat dirimu versi
dunia nyata, yang kini kukatakan lagi, ada di suatu tempat nan jauh.
Kamu tahu kenapa aku bilang kamu jauh?
Karena saking jauhnya, bukan lagi jarak yang aku bicarakan, melainkan waktu.
Rupamu, ragamu, rumahmu, cangkir tehmu, sendok gulamu, semuanya ada di lain
masa. Aku ingin membawamu ke sini tetapi takut sia-sia. Perbedaan dimensi ruang
dan waktu hanya akan menambah rumit urusan rindu. Jadi aku biarkan kenangan
pada hakikatnya, yang senantiasa bersemayam di pelupuk rindu kita. Kamu adalah
kenangan. Dan kamu yang ada di mimpi, mungkin adalah refleksi dari semua
kenangan yang aku simpan. Kamu yang nyata dan kamu yang maya adalah dua hal
yang sangat tipis batasannya.
Meski hari ini berbeda dari apa yang
kubayangkan, aku masih bahagia kamu ada ke mimpiku. Musik-musik di sini terlalu
pandai membuat ngantuk. Sekarang aku harus tidur lagi, dan berharap mendapat
mimpi baru tentangmu. Jika ada kesempatan bertemu di luar mimpi, aku ingin
katakan bagaimana aku kepadamu belum berubah. Dan jika itu terjadi, aku akan
membuang semua mimpi yang sudah kukumpulkan semenjak kamu berlalu.
Ditulis di bumi pada hari Sabtu.
Bagus banget. Membaca suratmu ini membuatku menertawakan diriku sendiri yang juga mengalami hal yang sama denganmu. Entah harus senang atau sedih.
ReplyDeleteMatur nuwun, kamu. Iya, aku cuma mewakili orang-orang yang punya perasaan serupa denganku.
ReplyDeleteSenang dan sedih selalu berdampingan, bukan?