Pada Jalan Lurus Kita Saling Bersilangan



 Di persimpangan jalan, kita datang dari arah berlawanan. Aku ke utara kau ke selatan. Kita berjalan dan bertemu di satu titik, kemudian saling melewati. Angin semilir gontai di antara kita, menyibak rambut lurusmu. Dunia berhenti berputar nol koma sekian detik. Dan saat itulah semuanya terasa sangat jelas. Aku menatap matamu, kau curi pandang menatap mataku. Keduanya tak bisa mengelak karena melihat di waktu yang bersamaan. Aku bisa melihat kerah kemejamu yang putih, kancing pertama dari kemeja, dan leher yang jenjang. Di bahu kecilmu sebelah kanan memikul tas yang tampak ringan. Mungkin hanya berisi beberapa buku pelajaran. Kita bergerak slow motion dan berlalu setelah saling membelakangi.
 
Di koridor sekolah, yang mengapit mading satu dan ruang enam belas, kita datang dari arah berlawanan. Aku dari perpustakaan, kau dari kantin. Tapi aku membawa sebungkus nasi, kau membawa novel. Kita berjalanan menuju arah berlawanan, dan bertemu di satu garis lantai. Jam tanganku berhenti berdetak, menandai waktu membeku saat kita saling menatap. Sesungguhnya aku ingin berbalik arah namun kaki terlanjur berjalan lurus. Aku ingin berhenti namun langkah sudah setengah. Kita pun saling melewati. Waktu kembali bergerak seperti biasa.

Di dalam kelas, kulihat kau di luar sana melalui jendela kelas. Kau berdiri di depan kelasmu, aku berdiri di dalam kelasku. Kita hanya terhalang satu dinding dengan jendela kaca besar. Bodoh jika kubilang kita tidak saling kelihatan sementara orang-orang menatap melalui jendela kaca itu. Keinginan untuk saling melihat tidak bisa terbantahkan karena rasa ingin tahu kita yang sedang sangat menggebu-gebu kala itu. Itu yang kita lakukan, tanpa ada gerakan tambahan, atau air muka terbuang, atau menoleh ke belakang.

Di dalam angkot jurusan pulang kita bertemu lagi. Sungguh, tak ada niatan menaiki angkot yang sama. Kebetulanlah yang mempertemukan kita. Aku duduk di bangku kiri dekat pintu, kau duduk di balakang sopir. Aku tahu sulit rasanya untuk menghindari pertemuan yang tidak disengaja; sebuah pertemuan lurus yang tidak disangka-sangka. Tak peduli beragam penumpang unik yang patut diperhatikan, yang akhirnya kulihat hanyalah kau. Aku mencoba tidak tertarik arus menuju wajahmu dengan susah payah. Namun akhirnya kalah juga. Sepanjang perjalanan, aku menatapmu dan kau menatapku. Kurasa apa yang kita lakukan sederhana, tetapi aku yakin semuanya tidak sesederhana itu. Perasaan dan situasi kita sangat rumit. Sulit diungkapkan walau dengan bahasa yang sederhana.

Aku pulang dengan membawa banyak potongan gambaran tentangmu dalam kepalaku. Saat sore hari datang, ketika aku tak banyak kerjaan, gambaran tersebut keluar dengan sendirinya seperti sebuah tayangan iklan. Karena itulah dalam malam-malam yang genting, kubuang satu per satu gambaran itu, sampai hari kesekian, gambaran tentangmu lenyap bersama waktu yang pernah membeku saat kita berhadapan. Hanya tinggal tersisa di benakku: mengapa tak ada kata ‘hai’ dalam setiap perjumpaan kita?

“Hai,” Kau bilang di suatu tempat ketika aku tak ada di sana. Kata itu sama sekali tidak aku sadari. Sekarang kukatakan “Hai” dari sini untukmu. Apa kau mendengarnya? Aku berani mengatakan tidak. Kau sama sekali tidak mendengarnya. Kita bisa mendengarnya pada saat kita di persimpangan jalan, di koridor, di angkot, dan tempat manapun di mana kita saling bertatapan. Padahal kita punya banyak kesempatan, untuk berucap lebih dari sekadar ‘hai’. Mungkin di sana, kau akan menjawabnya, "Perasaan dan situasi kita sangat rumit. Sulit diungkapkan walau dengan bahasa yang sederhana."

Comments

Popular Posts