Dinamika No. 1303
Saya punya ruang lingkup untuk
bersosialisasi. Katakanlah di dalam ruang lingkup tersebut ada banyak teman
sepermainan. Mereka datang satu per satu, menjadi kenal satu sama lain, dan mereka
yang saya anggap cocok untuk berada dalam ruang lingkup saya adalah teman-teman
saya pilih karena kesamaan. Pemikiran, cita-cita, masalah. Hingga akhirnya saya
merasa memiliki mereka, meski saya nggak tau apakah mereka merasa begitu.
Mereka ada untuk tumbuh bersama saya,
dan melengkapi cerita saya dengan segala ciri khas mereka masing-masing. Itulah
yang mebuat saya merasa memiliki mereka, dekat dengan mereka. Saya mendapat
pelajaran yang mungkin tak akan saya dapat jika tidak bertemu mereka. Hal baru
yang saya terima, kelak jadi salah satu faktor kenapa saya begini.
Saya pikir, saya akan tumbuh bersama
mereka selamanya. Saya kira, mereka datang untuk tidak pernah pergi. Saya
salah. Maka yang terjadi adalah sebaliknya. Saat di mana kami harus berpisah,
adalah kebencian otomatis. Kebencian yang timbul karena pertanyaan: kenapa
harus ada perpisahan. Orang bilang, setiap pertemuan pasti diakhiri dengan
perpisahan. Kalau begitu, untuk apa saya dipertemukan? Kata saya kelak saat
mereka pergi satu per satu.
Namun ada hal yang lebih bodoh dari itu.
Mereka pergi untuk melenyapkan perasaan saya. Dan part paling bodoh terletak
pada: ketika orang-orang baru mulai memasuki ruang lingkup saya. Mereka datang,
menjadi kenal, dan mereka yang saya anggap cocok untuk tetap berada dalam ruang
lingkup adalah orang yang berharga. Orang-orang baru ini—yang seiring
berjalannya waktu menjadi berharga—kemudian akan pergi lagi. Saya kehilangan
mereka lagi. Saya benci. Tapi dinamika pertemanan takkan berubah.
Kenapa?
Kepergian terjadi karena alasan. Demi
hidup, demi mendapat hal baru, demi mengeksiskan dinamika ini. Dan saya yakin,
dalam perjalanan mereka, orang-orang baru menghampiri. Sama dengan paa yang
terjadi pada saya. Orang-orang itu datang dan pergi. Beberapa yang tersisa juga
kemudian pergi. Akhirnya, kepergian mereka kembali pada saya.
Orang-orang yang pergi, bukan berarti
akan pergi selama—meski dalam beberapa kasus, mereka yang pergi sudah tak
pernah bisa kita temukan lagi. Adapun orang pergi kemudian kembali. Pada masa
di mana lama tak bertemu, kita kan berjumpa lagi, berkumpul bersama mengenang
masa-masa jahiliyah dulu. Juga mengenalkan mereka kepada orang-orang baru yang
saya temui selama mereka tak ada.
“Yang itu tea...”
“Hahaha... iya yang itu tea.”
“Hahaha... yang pas si itu jadi gitu,”
“Iya, hahaha...”
Ini yang kami punya. Sampai waktu yang
tidak ditentukan, kami memanfaatkan kesempatan ini. Karena dalam diri kami,
sama-sama ada ketakutan bahwa waktu yang bergerak ini akan membuat kami
berpisah lagi. Satu-satunya cara adalah kami menghabiskan waktu yang kami punya
untuk tetap bersama.
Setelahnya, siklus tetap terjadi. Mereka
harus berpisah lagi. Kami tau itu pasti terjadi. Saya sudah tak benci. Yang
perlu saya lakukan adalah terbiasa untuk menyambut kedatangan dan menerima
perpisahan.
*maaf untuk pembahasan receh ini
Comments
Post a Comment