Objek (Sebuah Potongan Cerita yang Mengendap Di Dasar Kepala)
Mulanya pria ini berpikir bahwa keindahan merupakan tanggung jawab suatu objek. Setiap orang yang menikmati keindahan, entah disengaja atau tidak, mereka tinggal menatap pada objek tersebut hingga merasa kagum. Kagum dengan sesuatu yang terkandung pada objek tersebut. Begitulah keindahan. Terasa sederhana saat dinikmati namun rumit saat dipikirkan.
Maka mengawanglah si pria. Menapaki pikirannya pada udara yang hangat. Padahal di hari biasa siang seharusnya panas, dengan terik yang kejam membakar kulit orang-orang. Pria ini, karena suatu sebab, mengangguk paham. Iya, katanya. Sekalipun itu adalah batu karang yang menindih pasir putih pantai, kemudian dihantam buih bersamaan dengan terik yang memancarkan permukaannya, dengan kesadaran tinggi kita akan menemukan keindahan itu. Sekalipun itu adalah semesta yang dibumbui jutaan objek terang di malam hari yang gelap, kita akan mengaguminya suatu saat. Merekalah bentuk lain dari sekian banyak keindahan yang sewaktu-waktu kita abaikan.
Lalu pria ini kembali ke kesadarannya. Pandangannya yang blur setelah melamun, kembali menjadi jelas. Tepat ada di depan matanya, sebuah objek nyata yang sedang dilihatnya. Rupanya lamunan membawanya pada sebuah pemikiran sederhana namun dalam. Kepekaannya terhadap suatu objek sudah naik level, dalam waktu yang singkat. Seperti sebuah kemajuan datang tiba-tiba, membuat kemampuan mengamatinya bertambah.
Ditatap lagi objek di hadapannya. Kemudian pria ini berpaling saat objek tersebut bergerak. Objek tersebut ternyata hidup. Astaga! Si pria sulit mempercayainya. Objek tersebut menyadari bahwa ia telah dipandanginya cukup lama. Ternyata itu adalah seorang wanita yang telah ia pandangi sejak lama. Wanita ini pun tak merasa risih, meski sebetulnya ia bisa teriak dan menganggap pria di hadapannya seorang pengganggu. Tapi tak dilakukan. Toh, si perempuan tahu setiap orang memiliki mata, dan si pria belum tentu menatapnya dengan tidak-tidak.
Pria ini mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja dilakukannya. Kenapa ia menoleh ke kiri? Tanyanya pada diri sendiri. Oh, ya, aku baru saja berpaling dari objek yang kulihat. Lalu, mengapa aku berpaling? Ia takut. Pria ini takut objek yang dilihatnya merasa terganggu. Ia berpikir sejenak. Bukan, bukan itu yang aku inginkan, kata si pria.
Semua pertanyaan itu memuih saat si objek, wanita, teralihkan perhatiannya. Orang-orang lalu-lalang siang itu. Kendaraan membuat jalanan padat, membuat jalanan penuh dengan objek. Wanita sedang menunggu, di seberang jalan, dengan latar bangunan tidak terlalu megah. Meski begitu, mereka senada dalam warna pun serasi dalam rupa. Orang-orang di sana juga benda-benda yang hadir yang melatarinya. Indah, pikir si pria.
Di sinilah si pria yakin kalau dirinya sudah menjadi objek.
Comments
Post a Comment