Gadis Bandana Merah
Dia
gadis berkerung merah...
Nanana... na.. bla... bla... bla...
Nanana... na.. bla... bla... bla...
Lagu itu kedengeran lagi jelas di kuping saya, tepat
waktu saya bangun tidur. Gimana nggak kedengeran coba, orang yang muterin lagu
itu rumahnya sebelahan banget. Volumenya kenceng pula.
Saya tau lagu itu ketika di Jepang lagi musim
dingin, dan saya beserta kawan-kawan lagi sibuk ngerjain projek di Sukabumi,
Indonesia, bukan Jepang. Waktu itu temen saya, sembari bikin pola Rimlight DIY,
nyanyi lagu itu. Dia nyanyi dengan mengulang-ulang baris pertama liriknya sampe
kata-kata itu masuk ke dasar otak saya.
Dan saya jadi inget kemarin waktu mau pergi buat melakukan
perkara kecil. Saya dan si motor melintasi toko baju di mana ada seorang cewek
duduk di bangku di emperan toko tersebut. Bangkunya terlalu panjang sehingga
dia yang duduk sendiri jadi mencolok sekali. Saya menurunkan kecepatan laju
motor karena perasaan kepo menyerang.
Bandana merahnya yang dipasang di atas kepala jadi
daya tarik utama si cewek, bersama gincu merahnya yang senantiasa terang kalo
disoroti lampu. Kaosnya hitam legam dengan typografi ala motocustom, menutupi
kulitnya yang nggak terlalu putih. Dia duduk manis entah menatap apa, yang
pasti alisnya digambar warna cokelat yang membuat tatapannya terlihat santai.
Semua itu jadi lengkap setelah tau kalau di sebelah toko baju itu adalah bengkel
kecil khusus motor jalanan, mungkin. Saya memerhatikannya dengan agak detail
sampai semuanya terasa bergerak slow motion. Seketika terdengar baris pertama lagu
itu... membuat suasana semakin dramatis.
Dia
gadis berkerung merah...
Nanana... na.. bla... bla... bla...
Nanana... na.. bla... bla... bla...
Sebetulnya nggak nyambung-nyambung amat sih. Ya dari
lirik, ya dari musik, sama sekali nggak relate. Satu-satunya alasan kenapa saya
menghubungkan keduanya mungkin lagu itu mengandung atmosfer yang sama dengan si
cewek. Secara itu lagu milik Wali yang judulnya Kekasih Halal yang mungkin
kalau didenger-denger agak bernuansa ndeso. Nah, judulnya pun nggak nyambung
kan, dan asal kalian tau, saya nggak berniat menjadikan si cewek bandana merah
jadi kekasih halal saya.
Sepanjang perjalanan saya nggak bisa berhenti
mikirin si cewek bandana. Yang paling jadi pertanyaan adalah kenapa gadis
bandana menatap jalanan seperti itu? Kemudian pertanyaan itu bikin saya
ngelamun. Dalam lamunan saya, si cewek lagi mempertanyakan satu hal: kenapa di kota
ini berasa ada yang ilang satu.
Apa ya?
Saya jadi ikut mikirin.
Selama ini, saya juga sering mikir ada yang ilang
dari kota Sukabumi tercinta ini. Kebanyakan nggak disadari orang-orang. Lagian orang-orang
itu juga keliatannya nggak ada inisiatif buat nyari tau apa yang ilang dari kota
ini.
Hal pertama yang paling saya sadari adalah hilangnya
kultur villager STM. Kultur villager STM itu sebutan buat anak-anak STM yang
sering melakukan aksi rebel dan berdandan ala anak STM sejati: pakaian serba
sempit, celana ngatung, pake dasi yang di dalemnya diselipin penggaris besi,
baret hasil jarahan dari sekolah lain, badge dan lokasi sekolah lain yang juga
hasil jarahan, uang receh buat beli ciu, tas yang nggak berisi buku pelajaran,
ah betapa eksperimentalnya fashion mereka. Oh, nggak lupa potongan rambut cepak
jablay atau orang sering nyebut cukur emo. Tapi entah kenapa, selama mereka
punya rambut model begitu, image mereka sebagai villager kuat sekali.
Dulu, waktu saya masih sekolah, villager masih
bertaburan di mana-mana. Di jalanan, di sekolah, di pusat kota deket pasar
tradisional. Yang paling pasti kita akan menjumpainya adalah di tempat konser
gratisan yang diadakan di lapangan. Pada jaman itu mereka sangat eksis. Sebagai
villager, mereka nggak pernah tinggal diam. Selalu bikin kota gerah.
Saya nggak akan pernah lupa ketika di depan mata
saya ada dua anak villager saling baku hantam dengan penggaris besi. Pengalaman
mendebarkan mengingat saya juga saat itu anak STM tapi tergolong baik-baik.
Tembok-tembok kota nggak akan bersih selama mereka
ada. Seenggaknya mereka udah turut berkontribusi dalam mempercaduk kota. Kehadiran
mereka bersama kubu-kubu mereka ditandai dengan coretan di tembok seperti ‘117
BZAD by Venkz’, atau ‘212 SHELIWANGIE by Cuyz’. Oh iya, mereka udah membuat
para penjual pilox dan cat kiloan yang biasa mereka pake buat coret-coret jadi merasa
untung.
Tetapi peradaban gaul yang sporadis telah mematikan
kultur lain. Villager salah satunya. Sepertinya para villager merasa dirinya
harus kembali ke jalan yang benar. Oh, itu sangat nggak dibenarkan. Padahal berkat
kehadiran mereka, kota jadi lebih berwarna. Adanya mereka membuat kota jadi
ngampung. Itu hal keren dan sangat memicu paradoks, bahkan mengaburkan esensial
kota itu sendiri.
Kalau aja kultur villager masih ada, mungkin si
gadis bandana merah akan menjadi salah satunya. Dan kalau si gadis bandana jadi
villager, maka gadis bandana bukanlah gadis bandana. Saya nggak akan melihat
dia duduk di bangku panjang depan toko baju. Saya nggak dia melihat penampilannya
yang cocok dengan bengkel sebelah toko. Tapi lagu Wali akan sangat relate
apabila si gadis bandana jadi villager.
Iseng-iseng ngelamun, nggak kerasa saya udah nyampe di
tempat tujuan. Itu udah sore, sore yang cerah untuk gadis bandana merah. Waktu saya
nyampe, gadis bandana merah mesti masih duduk di depan toko. Nggak peduli
sesulit apa pun situasi politik, dia akan tetap sebagai gadis bandana merah
yang akan mencuci bandananya kalau kotor kena oli bengkel. Dia nggak akan
kebawa sama isu-isu sensitif kecuali bandananya dirusak ormas beratasnamakan
agama.
Seandainya saya Faank vokalis Wali, saya bakal
ngeganti lirik lagunya jadi,
Dia
gadis bandana merah...
Nanana... na.. bla... bla... bla...
Sori gak hapal bait selanjutnya.
Comments
Post a Comment