Fasad Eskapis
Perihal tentangmu kali ini datang dari
angin yang berembus, berasal dari suatu tempat yang tidak kuketahui. Ia melesat
menuju pori-pori di dadaku, memuih di dalam, memorak-porandakan perasaan. Kupikir,
apa maksudnya itu selain hanya membuatku semakin sulit menahan diri? Membuatku
repot membuat pilihan antara mengusir atau menikmati. Parah. Parah sekali.
Aku sedang menghadapi dirimu yang terus
merasuk dengan berbagai cara selain angin. Menyusup dalam benak, muncul di dalam
bingkai pajangan, menjelma menjadi wangi yang pernah kuhirup sekali dalam
perjumpaan. Kau menjelma menjadi baris huruf sepanjang hari. Menjulur menarik
jariku untuk menuliskannya. Membuatku urung menghentikannya. Malu aku
mengatakan, tapi kau telah memasuki setiap ruang kosong dan celah yang ada
dalam diriku. Menerkamku setiap kali kau hadir, membuatku menyerah bagai budak
diempas bilah. Dan semua ini bukan salahmu.
Rasanya sulit untuk mengenyahkan apa
yang telah kulukiskan dalam alam bawah sadar. Yakni tentangmu, yang kuputuskan
untuk membiarkannya bergerak bersama waktuku. Sepasang mataku pernah menjadi
kamera, dan gambarmu bergerak dalam kepala yang menyimpan semua detailmu. Dan
sebagaimana bayangan, kau mengikutiku ke mana pun aku pergi.
Ketika aku pulang ke rumah, kau telah
lama ada dalam kepalaku. Menghuni kepalaku sebagai rumah, dan bersemayam namun
bungkam di hilir mudiknya pikiranku. Semua itu menjadi tanda tanya meski
jawaban telah membebat habis pertanyaanku. Kau yang sudah menjadi penghuni
tetap dalam kepalaku, apakah aku telah mengijinkanmu mengambil alih tempatku
menjadi ruangan sesukamu? Kalaupun belum, aku sudah membiarkannya terlebih
dahulu. Tapi mengapa? Mengapa aku membiarkanmu?
Pada suatu masa, di masa-masa genting,
aku serentan ranting. Tapi tulang saja mampu menahan beban berton-ton beratnya.
Lalu apa yang melemahkan? Pikiranku sendiri. Yang menutup hati yang pernah
tenang, setenang riak air disapu angin. Angin adalah kau. Aku menemukan sisi
lainmu, menemani kesendirianku. Aku menyapamu.
Kosong.
Hening.
Tak ada jawab.
Aku tersentak dengan suaramu yang
mengaliri telingaku. Kau ada di sana. Suaramu, bias gendang telingaku. Aku
tertegun dengan gayamu yang menelan pandanganku. Tingkahmu, bias penglihatanku.
Sebegitunyakah rindu mewujud rupa dalam bentuk imaji? Seharusnya yang
dirindukan sadar, dan yang merindukan tahu diri.
Comments
Post a Comment