Daksa Renjana
Masih seputar tentangmu, yang selalu
menghujani mimpiku di atas tempat tidur yang kering. Dan lihat bagaimana aku
tersungkur kembali pada kesadaranku karena hentakan mimpi jauh lebih ekstrim
dari yang kita kira. Kemudian kulihat tubuhku nyata pada dimensi ini. Aku
melihat kenyataan terasa berkali-lipat sejak kau ada di dalamnya.
Dua empat lima dini hari. Memikirkanmu
telah menjadi prosedur wajib. Aku tak pernah lagi memikirkan hal yang tak
perlu. Karena di luar itu, urusan selain dirimu, biarlah orang lain yang urus. Maka,
sementara orang lain mengurusi hal yang tak perlu, aku sampaikan padamu warta
mengenai keberanian yang aku kumpulkan sedari pertemuan kita di antahberantah.
Apa kau sempat mengamati, kesendirian
membuatmu mati. Bersama orang-orang dan berkas-berkas yang kaubuang dari masa
lampau. Namun abunya kau simpan juga dalam pikiranmu yang majemuk, mengakar,
dan terbakar. Lalu aku tiba sendirian; di hatimu yang telah lama ditinggalkan
pemiliknya. Membawa buah tangan; serupa niskala absah yang pernah terkikis
dengan sendirinya.
Aku datang dan menyentuh hidupmu. Kugapai
kau pada porosnya utopis. Seumpama kau masih samar untuk memahami, lihatlah
pada semua hal yang pernah terjadi. Ada semesta membantu meraih jarak, yang
sulit kita lalui jika dengan ekspedisi disengaja. Ada waktu yang mau bersekutu,
merundingkan urusan yang bersangkut-paut atas kau dan aku. Dan latar kita berada,
melengkapi balada cerita kita. Tanpa jeda. Tanpa drama yang menyakitkan mata.
Aku ingin kau mengerti kelak apa yang kusampaikan
bukanlah soal bualan. Aku tak ingin ini menjadi sebagai sebuah kemungkinan dan
berhenti begitu saja dengan setumpuk pertanyaan. Dalam sebuah logika,
kemungkinan hanya akan menjadi cabang dari berbagai ketidakpastian.
Cabang-cabang itu yang hanya akan mengundang keraguan, yang justru seharusnya
tak perlu dibangunkan. Jika sumpah adalah hal lumrah, maka akan kulakukan
berkali-kali setiap kali kecemasanmu datang menyergah.
Masih ada banyak sekali yang ingin
kusampaikan, khususnya yang berkaitan dengan dirimu. Tentang bagaimana akhirnya
kita beradu pandang. Di malam yang berlalu dan pada waktu yang memburu. Tentang
hal yang tak sempat kuceritakan, pada baris kata dan bahasa yang melarut. Namun
pijak kata telah pudar sedari tadi. Pondasi sebagai jantung rapsodi mendadak
layu saat keinginanku kumat lagi. Aku butuh ruang pertemuan untuk mewakili
semua kata-kata yang tak mampu lagi disematkan. Tanpa pertemuan, rindu akan
selalu seperti dendam: jika tak terbalaskan ia akan terus bersemayam.
Kini sadarilah bahwa kita terangkai
nyata. Selagi daksa dibuai renjana, tanyakan pada hari-hari yang menunggu di
depan, sudikah ia kulewati bersamamu?
Comments
Post a Comment