Jingga Sore yang Berlari ke Dekap Malam
Sore menguning berlarian menuju malam,
tanpa tunggang langgang namun pasti menjadi gelap. Dua orang duduk menghadap
saling memandang, masing-masing di atas kursi lipat dan meja ada di
tengah-tengah mereka. Makanan di piring-piring plastik sudah habis. Tersisa air
putih di gelas yang dituang dari botol terakhir. Di bawah mereka ada rerumputan
yang hijau dan terlihar segar. Keduanya menjadi syahdu, beradu-padu dalam
suasana yang mendayu.
“Aku menyukaimu gak peduli kamu manusia
atau alien,” ucap si lelaki beriringan dengan tatap matanya yang berbinar.
“Benarkah?” jawab si perempuan tersenyum.
“Eh, tapi kalau ternyata kamu alien, aku
pikir-pikir lagi deh.”
“Itu nggak mungkin. Aku ini manusia.”
“Benarkah? Coba kulihat wajahmu.” Si
lelaki mendekat ke wajah si perempuan. Nyaris lekat. Disusurinya dengan tatap
setiap bagian wajah si perempuan.
“Ah, sudah kelihatan juga.” Si perempuan
agak berpaling karena malu ditatap seperti itu.
“Nggak, itu ada antenanya. Pasti kamu
alien.”
“Ini kuncir dua tahu.”
“Ah, sial. Aku nggak nyadar.”
“Ih,”
Ada jeda sedikit saat sebelum akhirnya
mereka melemparkan senyum satu sama lain. Awan-awan bergelayut melintasi mereka
yang diam di satu titik dari luasnya rerumputan.
“Eh, tapi kamu cantik juga kalau
dikuncir.” Ucap si lelaki yakin.
“Serius?”
“Aku bercanda.” Kemudian si lelaki
tertawa.
“Beraninya kamu.”
“Maksudku aku ini bercanda kalau aku
sedang bercanda.”
“Hahaha... permainan kata lagi.”
Si lelaki mengusap pipi kanan si perempuan
dengan lembut, sebelum akhirnya berkata, “Hey, dengar kalau aku sedang
memujimu.”
“Kalau gitu, jangan di depan orangnya.
Nanti dia merasa bangga.”
“Berarti kamu sekarang bangga?”
“Menurutmu?”
“Aku bangga memilikimu.”
Si perempuan tersenyum, entah untuk keberapa
kalinya. “Tapi hatiku masih disegel,” ucapnya setelah itu.
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu yakin kalau aku bukan
alien.”
“Aku menyukaimu gak peduli kamu manusia
atau alien,” ucap si lelaki beriringan dengan tatap matanya yang berbinar.
“Benarkah?” jawab si perempuan
tersenyum.
“Eh, tapi kalau ternyata kamu alien, aku
pikir-pikir lagi deh.”
“Itu nggak mungkin. Aku ini manusia.”
“Benarkah? Coba kulihat wajahmu.” Si
lelaki mendekat ke wajah si perempuan. Nyaris lekat. Disusurinya dengan tatap
setiap bagian wajah si perempuan.
“Ah, sudah kelihatan juga.” Si perempuan
agak berpaling karena malu ditatap seperti itu.
“Nggak, itu ada antenanya. Pasti kamu
alien.”
“Ini kuncir dua tahu.”
“Ah, sial. Aku nggak nyadar.”
“Ih,”
Ada jeda sedikit saat sebelum akhirnya
mereka melemparkan senyum satu sama lain. Awan-awan bergelayut melintasi mereka
yang diam di satu titik dari luasnya rerumputan.
“Eh, tapi kamu cantik juga kalau
dikuncir.” Ucap si lelaki yakin.
“Serius?”
“Aku bercanda.” Kemudian si lelaki
tertawa.
“Beraninya kamu.”
“Maksudku aku ini bercanda kalau aku
sedang bercanda.”
“Hahaha... permainan kata lagi.”
Si lelaki mengusap pipi kanan si
perempuan dengan lembut, sebelum akhirnya berkata, “Hey, dengar kalau aku
sedang memujimu.”
“Kalau gitu, jangan di depan orangnya.
Nanti dia merasa bangga.”
“Berarti kamu sekarang bangga?”
“Menurutmu?”
“Aku bangga memilikimu.”
Si perempuan tersenyum, entah untuk
keberapa kalinya. “Tapi hatiku masih disegel,” ucapnya setelah itu.
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu yakin kalau aku bukan
alien.”
“Aku menyukaimu gak peduli kamu manusia
atau alien,” ucap si lelaki beriringan dengan tatap matanya yang berbinar.
“Benarkah?” jawab si perempuan
tersenyum.
“Eh, tapi kalau ternyata kamu alien, aku
pikir-pikir lagi deh.”
“Itu nggak mungkin. Aku ini manusia.”
“Benarkah? Coba kulihat wajahmu.” Si
lelaki mendekat ke wajah si perempuan. Nyaris lekat. Disusurinya dengan tatap
setiap bagian wajah si perempuan.
“Ah, sudah kelihatan juga.” Si perempuan
agak berpaling karena malu ditatap seperti itu.
“Nggak, itu ada antenanya. Pasti kamu
alien.”
“Ini kuncir dua tahu.”
“Ah, sial. Aku nggak nyadar.”
“Ih,”
Ada jeda sedikit saat sebelum akhirnya
mereka melemparkan senyum satu sama lain. Awan-awan bergelayut melintasi mereka
yang diam di satu titik dari luasnya rerumputan.
“Eh, tapi kamu cantik juga kalau
dikuncir.” Ucap si lelaki yakin.
“Serius?”
“Aku bercanda.” Kemudian si lelaki
tertawa.
“Beraninya kamu.”
“Maksudku aku ini bercanda kalau aku
sedang bercanda.”
“Hahaha... permainan kata lagi.”
Si lelaki mengusap pipi kanan si
perempuan dengan lembut, sebelum akhirnya berkata, “Hey, dengar kalau aku
sedang memujimu.”
“Kalau gitu, jangan di depan orangnya.
Nanti dia merasa bangga.”
“Berarti kamu sekarang bangga?”
“Menurutmu?”
“Aku bangga memilikimu.”
Si perempuan tersenyum, entah untuk
keberapa kalinya. “Tapi hatiku masih disegel,” ucapnya setelah itu.
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu yak—“
“Sebentar...” si lelaki mendaratkan
telunjuknya ke bibir si perempuan, membuat percakapan mereka terhenti otomatis.
“Aku tau apa yang akan kamu katakan. Kalau kamu mengatakannya, maka percakapan
ini terus terulang dan tak kunjung berakhir.”
Hening.
“Sampai kamu yakin kalau aku bukan
alien.”
--------
Langit dan awan yang bergelayut sudah
hampir punah. Bertepi pada gelap yang menggantikan mereka. Pelarian sore sudah
sampai pada keinginannya. Dan begitulah kisah mereka berdua. Percakapan terus
berlanjut, waktu berjalan, dan hari berlalu. Keabadian adalah mereka berdua.
--------
“Aku sengaja terus menggiringmu ke
percakapan yang tak berujung ini. Aku hanya tak ingin berakhir seperti yang kamu
katakan. Aku ingin bersamamu gak peduli kamu manusia atau alien.”
Comments
Post a Comment