Antara Lamunan dan Kegabutan



Berawal dari ke-gabut-an temporer yang selanjutnya menggiring saya untuk mainan hape dan buka Instagram. Karena sebetulnya sudah jenuh dengan sosmed yang satu ini, saya iseng mengecek explore dan scrolling sampe bawah. Terus ke bawah, terus ke bawah. Jari pun terasa pegal dan saya berhenti. 

Mata saya kemudian menangkap satu postingan berupa ilustrasi dari akun seorang komikus (yang mohon maap namanya saya lupa). Dalam postingan tersebut tertera sebuah gambar telepon umum dengan tulisan kurang lebih begini, “Kalo kamu diberi waktu 30 detik buat menelepon diri kamu 5 tahun lalu, apa yang akan kamu sampaikan?”

Seketika saya tertegun. Sementara tangan saya menaruh hape, pikiran saya setelah sekian lama kembali mengembara seperti yang biasa saya lakukan di kamar mandi sebelum hendak mengguyur kepala dengan air di gayung.

Lima tahun. Kenapa bisa pas postingannya , ucap saya dalam hati. Lima tahun lalu adalah kilas balik perjalanan saya, di mana saya memulai apa yang tengah saya lakukan dan benar-benar sangat ingin melakukannya. Sebuah rencana yang pernah disusun dengan tidak rapi tapi pada akhirnya rencana tersebut, meski prematur, terealisasikan juga. Tidak seperti rencana lainnya. Singkat kata, mereka telah menanti saya dalam lamunan pendek.

Saya membayangkan apa yang akan saya katakan pada diri saya di lima tahun yang lalu melalui sebuah telepon berkesempatan durasi 30 detik saja. Ini nyaris seperti yang pernah ada dalam lamunan saya ketika di tepian sungai setahun yang lalu. Pada saat itu, saya lagi sering-seringnya memikirkan diri saya sendiri, pergi ke tempat sunyi, menyendiri, melamun dan  menyesali diri saya pada tahun-tahun yang berat itu. Bedanya, saat itu saya membayangkan seandainya bisa bertemu dengan saya di masa lalu, bukan dengan telepon. Meski sedikit berbeda, keduanya masih satu tema: perjalanan lintas waktu untuk memperbaiki sebelum akhirnya begini. Apalah itu, yang pasti, kemungkinan yang akan saya katakan pada diri saya lima tahun yang lalu akan seperti ini jadinya:

“Halo...” 

“...”

“halo... Oy! Duh, sinyal parah nih... Kamu denger nggak, sih?!”

Dan telepon pun terputus.

Okay, itu lamunan gak jelas. Yang bener adalah di bawah ini:

“Halo, Blenk.”

Si Blenk 5 tahun lalu kemungkinan akan menjawab,

“Halo, iya. Ini siapa?”

Lalu saya akan membungkamnya dengan penjelasan tanpa jeda, dilanjut dengan inti. Seperti ini:

“Oke, Blenk, dengar, jangan dulu bicara karena waktu kita nggak banyak. Pokoknya dengarkan baik-baik, lalu pikirkan matang-matang. Jangan pikirkan yang tidak perlu seperti siapa saya atau kenapa bisa. Pokoknya dengarkan. Lima tahun dari sekarang, kamu akan menjadi apa yang kamu mau asalkan kamu tidak terpengaruh dengan perintah atau rujukan orang lain. Dengarkan hatimu sepenuhnya, lalu lakukan apa pun yang kamu mau.

Fokuslah pada tujuanmu, dan jangan pernah khawatirkan dirimu jika benar itu berasal dari kata hatimu. Semua akan berjalan dengan baik. Nikmati prosesnya, syukuri likunya. Ketika akhirnya tiba, kamu tidak akan pernah menyesal. Lakukan. Lakukan. Oh iya, satu lagi, tak perlu khawatir akan siapa yang menemanimu. Karena lima tahun dari sekarang, kamu punya seseorang yang menyemangatimu dan mendukungmu, dan sayang, dan mempercantik semua perjalanan ini. Cukup. Jangan tanya lagi. Semua sudah jelas. Terimakasih untuk bersedia menjadi Blenk, yang tak pernah ragu akan pilihan.”

Saya kembali dari lamunan disusul dengan helaan napas panjang. Dan saya sedikit menyesal sudah melamun terlalu jauh. Lagi. Kenapa? Karena pada kenyataannya, di tahun itu, saya kerap terpancing dengan kemauan orang lain, masukan yang tidak perlu, dan hal-hal yang bukan berasal dari hati saya sehingga dampaknya terasa di masa sekarang. Ya, saya sedang mengenyam itu.

Belum cukup mengawang, pikiran saya transit ke memori suatu siang ketika saya menghampiri seorang bule yang belakangan diketahui sebagai dosen elektro. Dia adalah orang yang mewawancarai saya pada saat saya mengikuti tes perkuliahan.

Siang itu saya menghampiri dia, mencoba menyapanya. Dia hampir tak mengingat saya kalau saja saya nggak menunjukkan rambut panjang saya. Pandangannya teduh memerhatikan saya. Sambil menaruh tumbler berisikan kopinya, dia berkata, “Ah, I got it. You are lil girl.”

Okay, saya bete diingatkan itu.

Di kantin siang itu kami bercakap-cakap ngalor ngidul blablabla. Dia banyak membicarakan mengapa pemikiran orang-orang tidak out of the box. Maka, di bagian ini saya mulai mendengarkan dia dengan serius sambil menerka-nerka apa yang dia katakan itu dalam bahasa inggris, pun suaranya terdengar agak pelan, membuat saya harus fokus dua kali lipat. Tapi saya menangkap juga apa yang dikatakan dia. Seandainya kalian tau, itu sangatlah menarik untuk disimak.

Apa yang dia katakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya tentang “do what you wanna do” dan “just do it”. Mungkin yang kedua kedengaran seperti dia mengambil jargon Nike. Tapi, apa yang dikatakannya benar-benar membuka pikiran saya siang itu bahkan ketika saya sampai di rumah. Dia bertanya pada saya, “Saya tanya, kenapha kamyu datang ke shenee?”

Saya mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Oh, dia berkata kenapa saya datang ke sini. Ya. Ya. 

Saya hanya jawab, “Karena saya mau menyapa anda.”

Dia tertawa, kemudian bilang, “Because kamyu mahu,” yang artinya, karena kamu mau.

Oh ya. Dia sedang memberi penjelasan tentang do what you wanna and just do it dalam contoh yang sangat sederhana. Sesederhana itu.

Ah, andai waktu itu saya melakukan apa yang saya mau, tidak peduli apa yang terjadi. Dan saya mengulang lamunan saya lagi tentang telepon. Saya jadi benar-benar mau melakukannya. Benar-benar pengin bisa terjadi. Tapi sudahlah. Perjalanan lintas waktu hanya bisa dilakukan dengan melamun. Hari ini akan jadi masa lalu. Masa yang akan datang akan menjadi hari ini.

NB: Ngomong-ngomong, dialog tentang telepon itu bakal memakan waktu lebih dari 30 detik. Jadi, kalau saya dapat kesempatan, maka saya mau nawar supaya waktunya lebih dari 30 detik. Percayalah, obrolan serius tidak pernah memiliki durasi pendek.

Comments

Popular Posts