Cerita Tentang Mereka yang Jarang Diceritakan



Ada sepasang mata yang tak bisa menatap balik. Mereka adalah sepasang mata kaki. Ada sepasang mata kaki yang tak mungkin ada. Itu adalah mata kaki kecoa.

Di kamar saya, yang setiap hari jadi tempat saya mengerjakan sesuatu komersil maupun tidak, yang juga jadi tempat untuk tidur, makan, sekaligus melamun, juga menjadi tempat nongkrong jikalau saya diajak teman untuk nongkrong tapi saya enggan keluar, ya jadi di kamar saya yang ruang serbaguna ini pernah ada kecoa. Mereka sebetulnya hampir tak pernah secara langsung mengganggu, hanya saja mereka sebaiknya tidak dekat sama saya. Sudah berapa juta orang yang mendeklarasikan dirinya untuk tidak menyukai makhluk yang satu ini. Tapi ya sudahlah, saya memang nggak terlalu suka kalau mereka ada di sekitar saya.

Kecoa tidak pernah terlihat adu mulut dengan para cicak yang merayap di dinding. Sekali waktu saya mendapat kesempatan melihat mereka berdua bertemu di dinding. Satu si kecoa terbang yang menjijikan, satu lagi si cicak yang tampan bagi cicak-cicak lain. Saya sudah tau, mereka gak akan saling menyapa. Tetapi saya juga tau, mereka tidak sedang bermusuhan. Ini seperti, “Okay, kita bertemu di sini, dan anggap kita tidak pernah saling melihat. Kalau terpaksa melihat, anggap saja kita bukan siapa-siapa.” Itu yang ada di pikiran saya saat melihat keduanya saling bertemu.

Di dinding dan lantai, seringkali banyak pasukan semut (kecil atau besar) yang berjalan berbaris-baris. Saya tidak ada masalah sampai suatu saat mereka berkerumun di gelas saya yang terisi teh manis dingin. Saya nggak ngerti apa tujuan mereka berkerumun di gelas teh manis. Apakah mereka kehausan, ataukah mereka menganggap itu kolam yang enak. Bagaimana kalau mereka pipis sembarangan di teh manis yang mereka anggap kolam itu? Saya akan sangat menghargai kalau mereka minta ijin terlebih dahulu pada si empunya teh manis. Sayangnya, kalaupun mereka minta ijin, pasti menggunakan bahasa semut, yang tentunya nggak saya mengerti.

Belum lagi, lalat yang sering terjebak di dalam ruangan saya. Kamar saya sejatinya minim ventilasi. Membuat kamar saya sedikit sumpek, gerah, dan saya anehnya nggak tertarik untuk membawa kipas angin ke dalam kamar. Saya lebih sering mengalah pergi ke luar kalau ruangan sedang panas. Oh iya, saya kan tadi sedang bicara soal lalat. Jadi para lalat yang terjebak, tentunya akan sulit untuk keluar lagi dari kamar saya. Ventilasi kamar saya kecil. Mungkin, banyak lalat sering menyepelekan ventilasi ruangan saya. Makanya, lalat-lalat yang terjebak beterbangan dengan panik. Saya sangat tau lalat-lalat ini ingin mencari udara segar, sama seperti saya, tapi karena mereka tak pernah mau dengar saya yang menyuruhnya keluar lewat pintu, maka mereka sering kena pukul saya. Untuk kasus ini, dan untuk keluarga korban para lalat, saya turut meminta maaf, juga berbelasungkawa atas wafatnya kerabat kalian.

Dan ketika semuanya sudah mulai tenang. Para cicak kembali datang dengan tidak tenang. Salah satunya pernah mengendap di samping saya, di dinding yang kusam dan retak-retak. Saya gak ada masalah pribadi dengan mereka karena mereka tidak punya utang ke saya, dan seingat saya, saya nggak pernah meminjami mereka sejumlah uang. Toh, mereka mau beli apa dengan uang rupiah yang ada di kantong saya? Mereka tak perlu beli pakaian. Mereka tidak perlu sewa rumah. Mereka makan tak perlu pakai uang. Tetapi inilah yang membuat para cicak mengendap-endap di dinding dengan tidak tenang.

Bahwa mungkin ayah-ayah cicak yang mencari nafkah mulai resah, anak-istrinya di sarang sedang menanti kepulangannya membawa buah tangan. Dan buah tangan itu tak lain adalah nyamuk yang selalu berdengung ke mana pun mereka pergi. Saya nggak tau apakah nyamuk-nyamuk juga merasa risih dengan suara mereka. Ataukah mereka menerima takdirnya sebagai nyamuk yang berisik? Para nyamuk selain berisik adalah membuat kulit bentol. Saya nggak suka kalau mereka mencari nafkah dengan cara itu. Bagi para cicak, nyamuk adalah buah tangan. Dan bagi para nyamuk, darah manusia adalah buah tangan. Dengar ya, sudah pernah saya katakan sewaktu SD, kalau saya tak akan pernah menyumbangkan darah saya, sekali pun itu darah kotor untuk para nyamuk. Meski, pada akhirnya, mereka tetap menghisap darah dari saya.

Selain mereka, sebetulnya masih ada banyak yang mampir atau mungkin menghuni kamar saya. Ada kupu-kupu, laron, kelabang, laba-laba, dan masih banyak lagi. Saya memang tidak pernah mengijinkan mereka ada satu ruangan dengan saya, akan tetapi mereka telah membuat ruangan saya jadi cerita, bersama mereka. Jadi, kalau ada yang bertanya apakah saya sendirian di kamar, maka jawabannya saya tidak pernah sendiri.

Saya tidak pernah sendirian.

Bahkan kalau mereka semua lenyap secara bersamaan dari ruangan saya, maka ada dua lagi yang hadir menemani saya: malaikat Rokib dan Atid yang mencatat amal. Mungkin saja mereka juga tidak sendiri. Seperti misalnya malaikat Atid membawa pasukannya atau Rokib yang minta ditemani malaikat lain untuk kepentingan pekerjaan. Secara tidak sadar, kita memang selalu merasa sendiri. Akan tetapi lihatlah dan sadarilah lagi, satu orang sendiri sama artinya dengan lebih dari satu atau mungkin bergerombol. Walau kenyataannya gerombolan kita tidak saling kenal dan menyapa seperti yang dilakukan cicak kepada kecoa.

Ehm...

Tetapi ketika saya berdua dengan pacar saya (yang tentu sangat saya sayangi) saya hanya merasa berdua saja. Saya pura-pura tak tahu kalau di sekitar saya banyak spesies dan makhluk dan apa pun yang bergerak dalam berbagai dimensi. Demi apa? Demi merasakan berdua itu romantis.

Comments

Popular Posts