Di Dalam Toko Roti Itu



Mereka duduk di bangku masing-masing sementara adzan Isya sudah berkumandang berjam-jam yang lalu. Obrolan sudah tak karuan, cuma pembahasan-pembahasan yang mudah selesai, kemudian diam, kemudian berpikir apa lagi yang bisa diobrolkan. Tak ada obrolan berarti, pertanda sudah waktunya pulang.

“Boleh saya tinggal sebentar lagi di tempat ini?” kata lelaki satu yang mengenakan sweater hitam.

“Tentu. Tapi saya ingin dengar apa alasanmu tinggal di sini sebentar lagi,” ucap si lelaki dua yang hanya mengenakan kaos berwarna putih.

Si Sweater terdiam sejenak, campur kebingungan.

Si Kaos menangkap keresahan dari raut wajah si Sweater. Si Sweater makin bingung untuk menjelaskan. Ia hanya melipat bibirnya dan membasahi bibirnya dengan lidahnya sendiri. Tampaklah setelah diperhatikan wajah si Sweater yang pucat sekaligus murung.

Itu adalah toko roti dan kue yang bertengger di jalan sekitar perkotaan. Toko itu milik pribadi si Kaos Putih yang dibangun setelah sepuluh tahun bekerja di pabrik roti. Tempat itu memang biasanya agak tenang setelah Magrib berlalu dan si Sweater datang ke toko sahabatnya ini sekali seminggu. Dia akan datang lalu duduk memesan roti keju kesukaannya. Setelah itu, sahabatnya, si pemilik akan menemui mejanya saat pembeli sudah bisa hanya ditangani oleh dua pekerjanya saja. Hampir selalu begitu.

Akan tetapi, malam ini yang membuat heran si Kaos adalah permintaan sahabatnya untuk tinggal sebentar lagi. Karena biasanya, saat si Kaos hendak menutup toko, si Sweater akan ikut pulang bersamanya. Sama seperti suatu hari ketika obrolan masih harus dilanjutkan, salah satunya akan mengajak ke rumah untuk meneruskan pembahasan yang dimaui. Mereka tidak biasa mengobrol di toko sampai larut malam meski tempatnya lebih enak daripada di rumah masing-masing. Mungkin karena kota kecil ini selalu saja sepi di atas jam sepuluh malam.

“Ada apa?” si Kaos kembali memancingnya dengan bertanya.

“Eh, anu...” si Sweater menggaruk kepala padahal tidak gatal. “Itu...”

Si Kaos menunggu si Sweater memberikan alasan.

Selang beberapa waktu, si Sweater lalu berkata, “Saya lagi nggak mau pulang ke rumah.”

“Kenapa?” tanya si Kaos, memancing alasan lain.

Si Sweater kembali mencari kata untuk diucapkan. Dan kini si Kaos ikut menunggu-nunggu.

Si Kaos mengambilkannya dua potong roti keju yang sama dipesan si Sweater dari gerai yang dijajari roti dan kue sedap dipandang bentuknya.

“Yang ini tidak diskon,” si Kaos menyodorkan roti itu dalam piring keramik imut, “Juga tidak perlu bayar. Mesin kasir sudah dimatikan,” ujarnya mengupahi.

Ternyata roti-roti yang datang ke mejanya membantu proses si Sweater dalam berucap. Ia pun berkata, “Ini perihal kangen.”

Si Kaos langsung menangkap maksud sahabatnya. Ia berjalan ke belakang gerai dan mengambil remote pemutar musik. Dengan volume yang cukup, ia memutar lagu Yiruma yang membuat seisi ruangan jadi lain atmosfernya.

“Saya takut pulang ke rumah,” seru si Sweater.

“Lalu, hubungannya sama kangen?”

“A... anu... ada banyak celah di rumah saya,”

Sampai di titik ini, tatapan si Sweater sama sekali tak ada binar. Tak juga ada terlihat hidup. Kosong melompong seperti mata plastik buatan pabrik.

Dan si Kaos mengerti, orang-orang yang sedang sendu kerap berucap dalam bahasa yang kacau nan membingungkan. Tetapi baginya tiada yang lebih membingungkan dari menyimak apa yang sahabatnya ucapkan malam ini. Rumah; takut; kangen; celah; si Kaos hampir kesulitan menyambungkan semua itu jadi satu penjelasan utuh.

“Sebentar. Saya mau coba uraikan apa yang saya tangkap dari yang kamu ucapkan.”

Yiruma di dalam pemutar musik sana sudah mencapai track terakhir. Sebentar lagi akan memasuki album Yiruma lainnya yang lebih sendu.

Si Kaos mengerutkan dahinya, sebelum berkata, “Kamu saat ini takut pulang ke rumah karena di sana banyak celah yang dapat membuatmu kangen pada seseorang. Iya, kan?”

“Iya, saya lagi kangen seseorang,”

Si Kaos sudah tau pada siapa si Sweater kangen. Maka ia tak perlu lagi bertanya tentang kejelasan siapa orang yang dikangeni. Yang dia perlu tau adalah kenapa si Sweater takut kangen. Si Kaos pun menanyakannya.

“Saya takut kangen ini nggak terbalaskan atau tertuntaskan,” jawab si Sweater.

Si Kaos menepuk pundak si Sweater. “Berat.”

“Lebih berat dari yang kamu kira,” kata si Sweater. Ia menunjuk wajahnya, “Lihat, jerawat-jerawat ini,”

Si Kaos memerhatikan dengan saksama. Kemudian menatap si Sweater, berharap ia dapat penjelasan lainnya soal jerawat-jerawat itu.

“Katanya jerawatan itu tandanya kangen sama seseorang.”

Si Kaos mengangguk heran. Ia bukan orang yang mudah percaya dengan ‘katanya’. Namun sepertinya si Kaos harus mengerti mengapa wajah si Sweater dipenuhi jerawat yang baru tumbuh.

“Kalo kangen ditandai dengan tumbuhnya jerawat,” ucap si Kaos, “maka betapa rusaknya mukamu. Lihat, jerawatmu menjadi-jadi. Apakah itu tandanya kangen berat?”

“Entahlah. Merugikan kalau setiap kali kangen harus tumbuh jerawat.”

“Iya. Tapi pernahkah kamu berpikir kenapa kangen terjadi?”

“Sepengetahuan saya, kangen ada setelah terjadi pertemuan. Dalam kasus saya, kangen pada seseorang.”

“Persis seperti yang saya pikirkan. Dan kangen itu entitas dari keinginan untuk bertemu kembali. Tanpa pertemuan, takkan ada kangen di waktu selanjutnya. Kalau tak ada kangen, maka pertemuan hanya bisa terjadi kalau tak disengaja.”

Si Sweater mengangguk.

“Jadi, mengapa kamu meragukan kangenmu. Maksud saya, kangenmu yang sedang akan meraung itu mengapa kamu cemaskan? Kan tinggal bicara sama orang yang kamu kangeni, lalu tuntaskan dengan sebuah pertemuan.”

“Itulah yang membuat saya kesulitan berkata-kata. Tadi saja saya kehilangan pijak ketika hendak menjelaskannya padamu.”

“Maka jelaskanlah sekarang sebelum kehilangan kembali pijakan itu.”

Si Kaos malah mulai merasakan ada kesedihan dalam raut si Sweater. Ia rasakan ada pijakan yang tak mampu diinjak si Sweater, yang membuatnya sulit untuk mengatakan. Tapi si Kaos tak mampu jua menerka maksud si Sweater tanpa dijelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi keresahannya malam ini.

“Di saat seperti ini, saat-saat saya membutuhkannya, ada sebab yang menahan kami, yakni hal-hal di luar kemauan kami. Saya tak bisa mengatasinya, dia juga. Maka kami hanya saling menunggu

“Berdasarkan hal-hal di luar kemauan kalian, bolehkah saya dengar apa itu?”

Si Sweater terdiam dengan kepala tertunduk menatap kedua tangannya di pangkuannya sendiri. Ia tak menunjukkan keinginan untuk memberitahu, tetapi juga tak memberi isyarat untuk tak menceritakannya.

“Okay, baiklah. Yang satu itu, kamu tak perlu mengatakannya. Saya tak ada hak untuk tahu banyak soal itu. Terlalu jauh. Pembahasan ini sebatas permukaan kangen saja, bukan?”
Si Sweater masih tertunduk, lesu.

“Kangen sulit sekali kita bendung. Semakin ditahan semakin menjadi. Apalagi kalau dibiarkan, ia menerkam seluruh akal sehat sampai tak bersisa. Yang tersisa tinggallah perasaan meradang. Kurasa kangen telah membuat perasaan kita memberontak. Setidaknya itu menurutku.”

“Itu yang nggak saya maui. Jika kangen tidak memungkinkan untuk dituntaskan, saya sungguh tak mau ia datang pada saya .”

“Jadi bagaimana kamu akan menghadapinya?”

Tetiba terdengar ketukan dari luar pintu kaca toko. Samar-samar seperti seorang gadis.


Bersambung...

Comments

Popular Posts