Anjing-anjing Ingin Memangsa Sisa Matahari
Tak pernah ada yang mengira, sekalipun
seorang tukang es keliling yang sering buang kencing di sana, bahkan tukang
bakso yang sering buang benih nikmat bersama waria kekar bernama Marsya, tak
ada satu pun dari mereka pernah atau ingin terlibat perkara setengil ini. Entah
mengapa hari harus memilih seorang pemuda rambut keriting-jijik berkupluk ungu,
seorang ibu-ibu tambun berkaos Gucci KW ketat, serta seorang wanita picak pendek
dengan tas mahal ditentengnya. Di gang itu pertemuan ketiganya telah menjadi
persoalan serius.
“Jadi, bolehkah?” tanya si pemuda.
Si ibu menghela nafas bete. “Yah... kita
lihat-lihat dulu ya,” Nafasnya benar-benar bete.
Terpatri raut lelah dari wajah si
pemuda. Selain karena kumal, wajahnya penuh dengan minyak. Berminyak; terlihat
licin mengkilap untuk seorang pemuda sepertinya.
“Saya—“
“Hm...” Si ibu menggeleng kepala.
Berdiri di samping si ibu adalah si
wanita picak, mencolek pinggang si ibu. “Jangan sampai lengah,” katanya,
berusaha memprovokasi.
Hari semakin sore, sorot cahaya matahari
sudah agak redup sehingga gang buntu itu menjadi terlalu gelap. Tetapi di sana,
tengoklah tiga orang yang sedang bersitegang. Dalam suasana yang bimbang, dipenuhi
amarah, serta kesedihan masing-masing ingin pulang. Ketiganya telah berada di
sana sejak siang yang biru cerah: di gang sempit dengan lebar semeter, tidak
lebih. Apa pun itu yang telah mengilhami mereka untuk sampai ke sini, sejauh
bertujuan untuk membuat sore menjadi tidak berkualitas, maka dipastikan sesuatu
itu telah berhasil. Rusaklah hari mereka sekarang. Tak dapat melakukan aktivitas
sebagai mestinya.
Di hari-hari biasa tanpa banyak
persoalan hidup, si pemuda tengah berada di kamar kosan bertelanjang dada di
atas kasur kecil bersama kekasihnya. Memantau lini masa—yang baginya isinya kian
hari kian seperti sampah—setelah melewati persanggamaan singkat setiap saat. Permainan
rutin itu selalu dimulai tatkala pekerjaannya dirasa sulit mendekati selesai.
Pelarian dari meja kerja selalu tampak menyenangkan bagi si pemuda, dan rutinitas
itu telah berlangsung nyaris enam bulan semenjak kekasihnya memutuskan tinggal
di sana. Jauh sebelum hormon oksitosin mengaliri tubuh serta endorfin memecah
ke segala penjuru raga, si pemuda telah beberapa kali melewati fase sulit. Salah
satunya tendensi bunuh diri yang tak dapat dihindari. Berkali-kali mata pisau
menjadi pihak kedua atas kehidupannya saat remaja. Ia pernah meminum darahnya
sendiri yang mengalir dari lengannya. Malam-malam mimpi buruk pernah nyata saat
hari-harinya bagai dimensi asing. Namun segala fase itu kini lenyap berganti,
di mana kemudian hari nanti datang sesuatu yang mengetuk pikirannya sampai ia
tak mampu tidur, bersamaan dengan tenggelamnya surya di mata kekasihnya.
Dan kita sebagai pribadi yang pandai
memaklumi, seyogyanya mafhum dengan ibu-ibu tambun berkeliaran di sekitaran
kompleks dengan sebayanya mengobrol ini-itu tentang apa yang mereka tahu dan
kira-kira. Tetapi biasanya, seperti yang kita pahami walau sekilas, mereka
hanya sekumpulan pencetus mulut-mulut yang fasih akan gibah. Menggibahkan apa
yang mereka hanya ketahui sebagian seakan mereka benar-benar tahu segalanya,
termasuk urusan tetangga maupun majikan mereka. Seperti di atas sofa hangat
yang pernah terjadi suatu kecelakaan khusus duniawi. Kala sepasang remaja tak
mampu lagi menampik sentuhan kulit lembut satu sama lain. Satu hari itu begitu
lolos di antara prinsip keluarga Konservatif. Pengalaman mendebarkan, dingin,
hangat, risau, bertumbuh menjadi persoalan haram jaddah memperdebatkan siapa
bertanggung jawab atas apa, dan siapa bertanggung jawab untuk siapa. Sofa
hangat itu pernah jadi alas untuk benih yang di kemudian hari dilenyapkan
secara paksa oleh sepihak keluarga yang terlanjur dilihat orang sebagai yang
paling beradab. Sofa itu, maupun sejoli rentan suram, telah ribuan kali
diperbincangkan ibu-ibu sekitaran kompleks. Pada hari yang damai, sofa itu
sudah diselonjori seorang tuan rumah, Ibu dari sepasang sejoli, yang selalu
berpenampilan mewah. Ia tak pernah mau tau dirinya jadi topik utama kelompok
ibu-ibu pergunjingan. Biangnya adalah asisten rumahnya sendiri. Yang selalu
membuka obrolan dengan kalimat, “Hey, ibu-ibu, tau nggak, sih...”
Kalau bukan karena sering bergaul dengan
sesamanya, ibu tambun yang telah lima tahun bekerja dengan majikannya itu tidak
akan tahu banyak hal. Setiap hari, ia banyak mendapat informasi—walau sebagian
besar, bagi orang-orang, tidaklah begitu penting. Akan tetapi baginya, segala
hal yang masuk ke telinganya adalah sebuah kesenangan tersendiri. Kisah apa pun
ia lahap dari tetangganya. Ocehan kawannya ia simpan di kepalanya. Ia masih
sangat ingat berbagai hal kecil yang diucap oleh ibu-ibu lain yang senang
bergunjing sepertinya. Lantas, semua itu ia kumpulkan untuk diceritakan kembali
kepada siapa pun yang ditemuinya. Ia bagai penyambung lidah. Sampai suatu hari,
ketika majikannya dalam situasi semrawut, ia mengendap-endap dari balik dinding
dapur. Mencoba memerhatikan apa yang terjadi pada majikannya dan situasi di
rumah tersebut. Hal itu ia coba korelasikan dengan apa yang pernah dilihatnya
beberapa bulan ke belakang, saat ia mendengar lenguhan seorang anak majikannya
di ruang keluarga. Mungkin terbiasa, mungkin memang harus ia yang menjadi saksi
dari kejadian sofa hangat itu.
Kalau bukan karena dia, lahir seorang
lagi di antara keluarga baik-baik. Tetapi bukan itu yang mereka inginkan. Ia
satu-satunya kunci dari aib sebuah keluarga baik-baik. Hingga saat di gang
tersebut terjadi perkara membingungkan, semuanya masih tersimpan. Si ibu tambun
sudah tak tahan, sementara majikan terus menjejalkan mohon sampai harga dirinya
kini berbalik arus.
Gang itu hanya memiliki satu pintu yang
terhubung ke rumah seorang janda pensiunan, letaknya di samping, tepat dekat
ujung tembok di mana si pemuda berdiri. Jalan keluar menuju jalan besar hanya
dapat dilewati jika si ibu dan si wanita pendek angkat kaki.
“Maaf, saya hanya ingin apa yang menjadi
hak saya. Lagipula saya benar-benar tidak mengenal kalian,” kata si pemuda.
Dalam diri si pemuda, bergolak deras
darah panas. Kepalanya kian pening begitu perutnya bersuara runcing. Mungkin
saat ini tubunya mulai tak bugar lagi. Tenggorokannya tandus, mungkin di dalam
sana telah terjadi fatamorgana. Seekor unta telah hampir mati bersama seorang
pengembara. Maka di dalam dirinya begitu riuh oleh kontraksi. Tunggu sebentar,
aku dulu yang pantas mengajukan diri. Perut berkata. “Boleh saya menutup
sebentar?” Tanya mata. “Hey, lihat, kami basah di sini. Apa ya namanya? Oh,
berkeringat.” Kata dahi. Mereka tetap tidak mau berkompromi layaknya
orang-orang sabar yang menggunakan jalan damai. Tidak ada ketenangan sama
sekali dalam tubuhnya. Padahal ia hanya memiliki satu nyawa.
Tidak ada empati dari burung-burung
sore. Jalan pikiran mereka yang pendek, yang lahir dari otak kecil, yang jika
digoreng hanya akan tambah menciut, takkan sampai pada pemecahan permasalahan
di sebuah gang yang dilewatinya. Entah mengapa mesti burung-burung itu menatap
dengan mata mereka yang bulat kehitaman, seperti biji pepaya matang yang juga
jadi makanan sehari-hari mereka. Begitu pun dengan para kucing tak jauh dari
sana. Belasan kucing meminta makan
dengan tatapan mengancam kepada kerikil jalanan yang terlalu tangguh untuk
dilukai seekor kucing, karena ia tidak pernah menyerah pada hari. Ia tegar
meski diinjak, ditendang, dihina kucing kelaparan. Seseorang melempar kerikil,
jauh sampai masuk ke dalam benak si pemuda. Suara si ibu tambun menghantam
kesadarannya.
“Jangan harap saya akan memberitahu apa
pun tentang saya.”
Si wanita pendek mengangguk. Mengiyakan.
“Maaf, jangan mengira Anda ingin saya
menanyakan apa pun tentang Anda. Saya bukan orang yang mudah ingin tahu segala
hal. Apalagi kalau hal tersebut menyangkut ibu-ibu seperti kalian. Mohon maaf,
saya mesti pergi dari sini.”
Si pemuda mencoba maju tanpa
memperhitungkan betapa kokoh kedua wanita itu bediri. Keduanya, si ibu dan
wanita memicingkan matanya. Seakan, mata mereka berhasil membuat langkah si
pemuda urung. Benar, si pemuda tak bergerak sedikit pun.
Masih dalam keadaan berdiri tegak, si
ibu tambun dengan mudah menimpali. “Ayah saya mengajarkan saya untuk tetap
berteguh pada prinsip. Agar kelak saya menjadi orang yang memiliki pendirian.”
“Satu hal lagi,” si wanita kelupaan akan
kata-katanya. “Supaya menjadi wanita yang tangguh,” ucapnya sedikit berbisik.
Si pemuda kembali pada posisinya.
Mencoba menerawang menggantikan suara yang masuk dengan ingatan tentang ayahnya.
Dengan ingatan sekenanya, ia mencoba mengungkap kembali masa-masa bersama
ayahnya.
Ayahnya adalah seorang yang jauh dari
kesan ayah. Si pemuda tak pernah melihatnya sebagai sosok ayah. Sepanjang hidup
bersama ayahnya, hanya sepatah-dua patah yang keluar, dan itu tak menjadi
sebuah obrolan. Hanya kumpulan kata yang sama sekali tak memiliki frasa.
Ayahnya bukan orang yang sibuk bekerja, bukan pula orang yang sering berada di
rumah. Jadi, petuah orangtua yang menjadi pegangan orang-orang tak dapat ia rasakan
manfaatnya . Karenanya, dalam hatinya tak pernah terbentuk sedikit pun dari
petuah seorang ayah. Baginya, ayah yang mengantarkannya ke dunia ini tak
memberi tutorial apa pun untuk hidup. Ia hidup dengan cara otodidak, tanpa
kata-kata bijak.
Kini ayahnya menunggunya di rumah. Rumah
itu hanya liang beratapkan gundukan tanah. Di sanalah si pemuda akan pulang
jua, ke bumi tempat ayahnya terbaring kini, dengan kostum kafan bertali yang
membuatnya semakin sesak di dalam sana. Jangan lupakan belatung yang mungkin
telah membuat ayahnya berubah menjadi tulang belulang. Bayangan itu menamparnya
kembali ke kenyataan yang sedang di hadapinya kini bersama kedua wanita. Di
gang yang brengsek ini pula, pikirnya.
“Tetapi yang terjadi adalah Anda tumbuh
menjadi ibu-ibu yang keras kepala.” Si pemuda membuang ludahnya. Lalu menyeka
sisah ludah di bibir dengan sekali usapan punggung lengan.
Mata kedua wanita itu terbelalak melihat
si pemuda. Si wanita pendek menutup mulutnya dengan spontan karena
ketidaksangkaannya terhadap apa yang dilakukan si pemuda.
Seharusnya, menjelang petang, janda
pensiunan membuka pintu samping rumahnya, memanggil anjing peliharaanya masuk.
Atau, biasanya, pada jam tersebut, janda pensiunan membuang sampah di samping
rumahnya. Sejauh ini, tidak ada tanda-tanda itu. Tong sampahnya masih kosong,
bersandar pada tembok gang, dibiarkannya lalat-lalat mencari nafkah di sana, di
atas tumpukan sampah kemarin yang belum sempat diangkut petugas kebersihan
kecamatan. Di waktu genting seperti ini, suara lalat jauh lebih menyakitkan
dari kejujuran seorang pacar yang berselingkuh. Membuat telinga pekak,
kehilangan pegangan tumpuan konsentrasi. Ludah yang keluar dari mulut si pemuda
adalah hasil dari itu semua.
“Anjing kurap!” ucap si ibu.
“Ya, anjing kurap biadab,” tambah si
wanita pendek.
Kemudian si ibu-ibu memerhatikan ludah
itu membasahi jalan gang. Daratan itu mendesis, gelembung-gelembung air ludah
pecah, menguap menjadi visual menyebalkan bagi si ibu dan wanita itu. Akan
tetapi, seakan seperti ada kekuatan tenang yang merasuki, si ibu berkata, “Dan
Ayah saya tak pernah mengajarkan saya untuk tidak sopan. Ajaran ini menurun
pada saya, di mana saya bertanggung jawab atas etika anak-anak saya. Saya
mendidik mereka dengan baik.”
Si pemuda hanya menatapnya remeh. Di
gang itu, bangkit sesosok angkara, menembus bulu-bulu kucing sehingga mereka
menggeram tak karuan. Burung gagak terbang rendah, tanda bau kematian yang
kesekian kalinya meliputi wilayah itu. Anjing-anjing ingin memangsa sisa
matahari yang terbit tadi fajar sebelum akhirnya basi diraup gelap. Mereka
masih di sana.
Comments
Post a Comment