Raung
Gerak tubuh itu resah. Sangsi berkali-kali. Keberadaan itu mengusik. Berubah menjadi ketidakyakinan. Apa boleh ketidaktahuan dibiarkan?
Mestinya kucintaimu dalam diam. Mewaspadai api yang nyala padam. Pendar, berujar, pijar menyalak gusar. Lolongan ketaksaan menguliti kemalanganku sendiri.
Ruas-ruas suara genap terpotong naas. Bibir itu diterpa atmosfer berkali-kali. Aku ingin, aku dingin. Kuharap malam kan berlalu meruntuhkan kelabuku. Memenggal kepalaku mungkin akan lebih baik.
Kematian Neruda adalah kesengsaraan tasbihnya. Akan kusadur sebagai jalan menuju hari esok. Aku kan berjalan sebagai anak frasa yang tertinggal di antara kerumunan kalimat-kalimat tunggal; tak mungkin diduakan dan didustakan.
Mestinya kucintaimu kembali dalam diam. Biar tubuh ini saja yang meraung. Pati dari segala ungkapan.
.
.
.
.
.
F
Comments
Post a Comment