Regang
Maut sudah lama bertamu dan tak juga pulang. Kusuguhi kopi dan teh juga camilan--entah sudah habis berapa banyak. Aku telah lama meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Berharap ia bosan lalu pulang. Tetapi, ia malah asyik melihat almanak, menghitung tanggal dan menyesuaikan primbon.
Ini kunjungannya yang ketiga. Setiap kali kuintip matanya, ia tersenyum menunjukkan aura kehadiran yang tak dapat disembunyikan. Aku tak dapat menahannya barangkali semata-mata maut adalah tamu istimewa. Yang memahami kehadiran namun tak pernah mempelajari substansi.
Di kunjungannya yang kedua, aku sudah tak lagi berbicara dengannya sejak kami saling mengutarakan tujuan hidup. Ketika itu kubilang, hidup adalah lanjutan dari fragmen kisah. Maut bilang, hidup adalah untuk merenggut. Malam itu kami berbeda kepala. Tak kusangka hari-hari sudah berubah menjadi tak biasa. Belakangan kutahu maut sudah dewasa dan ia hendak melanjutkan argumennya.
Hidup, baginya sependek satu paragraf yang bisa diselesaikan dengan sekali duduk. Kunjungan kali ini ia bermaksud meminta maaf.
"Maaf, aku harus tetap merenggutmu. Kemauan tidak boleh kendur," katanya. "Kubawakan tali, pembersih porselain, atau pikiran jahatmu. Mana yang kausuka?"
Comments
Post a Comment