Durjana

Kupastikan tubuhku kali ini tertombak penderitaan yang tak terperi. Matahari pernah terasa sejengkal dari kepalaku dan kulihat sembilan api mengawini diriku. Aku masih sempat membicarakan rumah denganmu. Rumah yang perlahan berdiri dari keras hatimu. Di mana kita mesti bernaung?

Aku mematut diri di pantulan beku dadamu (entah berapa derajat di bawah celcius). Mungkinkah dingin adalah kata lain dari cinta? Keduanya sama-sama membuatku hipotermia. Kukatakan kepadamu tak peduli aku mati berkali-kali, rindu ini hidup abadi. Dan cahaya kilau tubuhmu adalah pantulan bengis yang mengamputasiku.

Kususun diriku dari pertanyaan-pertanyaan tentangmu. Kulihat betapa derasnya darahku ketika sekarat. Kautulis semua jawaban dengan merah darah itu. Rumah-rumah yang kita bicarakan kini tak berpenghuni. Kauinginkan tulangku jadi pondasi, dan kau akan senang hati kembali menanam api matahari.

Terbakarlah habis atau hancurlah aku dalam beku. Itu yang kauinginkan sekarang. Dengan senjata apalagi kauguratkan takdir kita?

Comments

Popular Posts