Sepuluh Pertanyaan untuk Kesatuan yang Tiada

Kubayangkan pertanyaan, mampukah luas kasihku untukmu menjadi sebuah negara yang hanya ditinggali satu rumah?

Apakah air mataku adalah lagu kebangsaan sekaligus nyanyian mengheningkan cinta?

Kegelisahan adalah lambang negara. Kauikrarkan ketiadaan sebagai dasar negara, berharap sidang-sidang paripurna terdiri dari kesalahanku karena terlambat menyambutmu sehingga negara ini menyalahkan waktu dan berkali-kali menginterogasiku dengan jutaan mengapa. Mengapa?

Cinta terlampau jauh jatuh melintasi administrasi rumit. Ketika aku berhasil mengumpulkan dukungan bangsa-bangsa untuk berdirinya sebuah negara, kau menyatakan tak akan terikat dengan segala perserikatan. Dengan samar kau berkata, "Untuk apa?"

Dalam diam, lantas kau gulingkan kuasa cinta; mengambil alih seluruh kesepakatan. Tekad itu runtuh, kau lihat aku dan bertanya, "Bagaimana?"

Kubiarkan kasih melumpuh asal kau mau mengacu azas kebahagiaan. Kukatakan dengan demikian, "Sudah cukup?"

Tersusunlah kabinet baru yang terdiri dari lenganmu, tubuhmu, bibirmu, sepasang matamu, dan jumlah rambutmu senilai harta yang dimiliki negara ini--apa nilai tukar yang pantas untuk kita?

Kau mulai menghitung ketika daratan sudah menjadi semakin luas dan kau adalah kepala negara yang berkuasa atas segala daya. Aku hanya daratan yang menunggu kauasingkan. Aku bisa apa?

Kau hanya berkata seolah aku akan memerdekakan diri sebagai bagian lain. Nyatanya separuh dari rinduku kaubungkam tanpa pernah diadili. Beritahu aku, bagaimana kau mempercayai rinduku yang tak pernah bersambut?

Seharusnya negara tak menyangsikan itu, bukan?

Comments

Popular Posts