Menjiwai Diri Sendiri
Di pikiran lengang kita, ada sedikit retakan pada jalannya yang dapat membuat kita celaka. Bertahan dari kecamuk dan kemelut pikiran seperti menantang badai yang sedang tidak baik-baik saja. Mungkin jalan kita terang, tapi kita lebih banyak memilih yang tergelap untuk melaluinya.
Kita pernah berjalan melewati lampu-lampu kota dengan hati yang begitu redup. Tapi kita selalu keras kepala beradu cahaya dengan mereka. Kedua mata kita yang kosong gegabah menatap masa depan yang kadang ada kadang sirna. Kedua tangan kita ada dalam saku celana dan bertanya sampai kapan kita sanggup berjalan seperti ini.
Langit pernah jauh lebih cantik dari rupa kita, dan kenyataannya ialah yang bertahan lama menjadi kekasih bumi. Kita hanya bergerak di antara kerelaan jarak mereka. Cinta mereka terpisah oleh debu seperti kita, yang rusak dan mengaku-ngaku tercipta dari rusuk dunia.
Kita selalu merasa memiliki biru yang awet untuk warna hidup kita. Padahal, langit pun tak selalu biru. Kesementaraan warna kita selalu dianggap kesetaraan kesedihan yang panjang. Namun kita berjalan lagi, lagi, dan pagi. Mengucapkan selamat pagi untuk tidur kita yang selalu terlambat akibat ledakan tangis.
Ada cinta pada memar sudut kota. Dan kita berlagak paling paham akan maknanya, seolah kota hanya murid yang kita hardik sesekali bila ia melakukan kesalahan. Kita tak seberdaya itu untuknya, sebab kita pun pernah menepi di trotoar untuk meluapkan kesepian dengan melupakan keramaian. Semua orang kita anggap apatis. Dunia kita anggap begitu dingin menyambut.
Suatu waktu, kita yang berada di jalan pikiran berkelok, mempertanyakan kembali apa yang sebenarnya kita sedang lakoni? Oh, mungkin kita sedang menjiwai diri sendiri yang tabahnya tak seberapa ini.
Comments
Post a Comment