Mencoba Akrab dengan Maha Bestie
Mungkin Yesus perlu keluar dari zona nyamannya. Sesekali ia perlu coba memarkir mobil (yang entah bagaimana bisa ia dapat, mungkin dengan meminta kepada semesta) di swalayan sambil catcalling salah satu umatnya (terutama gadis muda menarik) yang hendak belanja sesuatu. Dalam dirinya yang paling murni, ia barangkali memiliki nafsu sebagaimana manusia walau demikian saleh dan berjanggut. Demi tuhan, aku tak sedang mengoloknya.
Jika aku memposisikan diri sebagai tukang parkir swalayan tersebut, aku tidak akan meminta sepeser pun dari lahan yang Yesus gunakan untuk parkir. Suer. Sebaliknya, aku akan meminta ia mengingat kembali kutipan Bukowski: "Aku tahu tuhan telah ciptakan banyak penyair yang puisinya nggak puisi banget.”
Dan jujur saja, kutipan Bukowski adalah firmannya yang ia layangkan entah pada siapa. Sebab aku tau dia mesti luput pernah menukil sabdaannya karena terlalu khatam menenggak alkohol. Tapi mungkin sebelum ia mengarang-ngarang kalau dia mengingat perkataannya, aku akan lebih dulu meminta ia memberi sepatah-dua patah sabda lainnya tentang hidup. Siapa tahu kelak sabda itu akan abadi bagi setiap orang yang mendengarnya, juga untuk Yesus. Dan kalau boleh meminta lebih, aku ingin Bukowski meminta Yesus pensiun lebih awal agar ia punya waktu untuk hangout sehingga suatu saat ia berpikir, Yesus yang Maha Salih sebaiknya menjadi penulis puisi mengalahkan dirinya.
Puisi-puisi ciptaan Yesus kelak—aku sangat yakin dengan bertaruh seluruh uangku yang tak seberapa ini—pasti jauh lebih bermakna melebihi firman apa pun; dibuat murni tanpa LSD. Kepandaian surgawi inilah yang dapat mendatangkan wanita separuh sapioseksual separuh berjiwa liar. Jika teori suka sama suka memang cukup untuk dijadikan bahan argumentasi, maka apa yang Yesus lakukan bukan semata-mata kesenangannya seorang. Kepiawaiannya ialah magnet bermagnitudo, menggetarkan hingga ke relung jiwa. Hanya orang tolol yang tak tertarik dengan sikap kepenyairannya.
Walau demikian, menandingi Bukowski si fuckboy tua bangka hanyalah sebuah kekeliruan. Sang Rahib ini nyatanya tak perlu melakukan apa pun lagi. Ia bukan tandingan siapa pun berkat segala kedigdayaannya sebagai sosok. Jika ada kata-kata yang lebih berdaya dari “digdaya”, maka kata tersebut akan jauh lebih “merenah” dinobatkan kepadanya. Di tanah bumi yang dipijakinya ini, segala sesuatu disanggupinya dengan energi tujuh langit. Rupanya ia selama ini hanya terlalu bersikap serius menopang semesta ini beserta umat di dalamnya yang sangat mengagungkannya. Kekuatan doa bahkan tak perlu diragukan. Saat ini ia hanya perlu santai melepas embel-embel ke-Yesus-annya. Jadi, tak perlu lagi begitu mengawang, bukan?
Ia mampu menitipkan pikiran pada manusia. Mampu membuat huru-hara menjadi damai sentausa. Mampu bermanuver dengan mukjizatnya. Tapi kadang, karena keseimbangan dalam dirinya, mungkin ia lupa bahwa ia pernah lupa. Dan pastilah ia lupa, ulahnya mencipta Camus (yang penuh overthinking) adalah kekeliruannya yang lain, selain mencipta orang-orang berkecenderungan mati muda lainnya. Entah berhasil mati atau karena takdir, tetap saja dari kehidupan yang digariskan, selalu saja ada kekeliruan. Ia lupa hamba mana saja yang mesti mati duluan. Pikiran, kedamaian, mukjizat, sedikit dari banyak hal yang menyembunyikan sifat manusiawinya.
Bukan sekali saja ia luput dari persoalan yang menyeretnya. Alkisah, ada seorang hamba yang tak peri lagi menopang nyawanya sendiri. Menyingsinglah sebuah hari di mana tubuhnya terbaring kaku. Di bawah langit kemurungan, ledakan masygul membuncahi seisi desa, tempat ia membaringkan tubuhnya dan orang-orang berkerumunan begitu sembab. Memohonlah seorang gadis Maria kepada Yesus yang sedang berkelana agar ia melihat Si Mati.
Dengan doa suci, atas seizin kasih Yang Maha, tertancaplah kembali ruh yang hendak melakukan perjalanan ke dunia selanjutnya itu. Berkat mengabulkan permintaan umatnya, justru kebingungan menggantikan udara saat itu. Maka, seluruhnya menjadi sesak dan terperangah melihat Si Mati hidup kembali. Di hadapan seisi desa, Yesus berkata, "Percayalah padaku, maka apa pun dapat terjadi." Dengan harapan, orang-orang lebih banyak mengamalkan kedatangannya yang sakral.
Hal inilah yang membuatnya terendus lalu diburu golongan ekstrimis yang bebal. Alih-alih menghidupkan kembali Si Mati, mengapa ia tak saja melayangkan wejangan ketabahan yang sakti agar dapat membuat dada orang-orang desa lebih lapang? Kata-kata menurutku cukup untuk menengahi peristiwa ini, sehingga mukjizat tak perlu didatangkan dengan percuma. Menciptakan kematian dan menghidupkan yang mati terasa seperti sebuah lelucon. Hemat saya, keseimbangan inilah yang membuatnya berangsur-angsur menjadi pria yang serius.
Kembali di parkiran swalayan, aku tidak akan menghentikan suatu apa pun tindakan Yesus. Aku rasa ia sangat populer, meski suatu band terkenal nan legendaris pernah mengakui lebih populer darinya. Andai ia sejak awal hidup sebagaimana manusia normal, satu-satunya masalah adalah ketika ia menyadari dirinya sebagai manusia. Namun ia mesti memiliki aura positif untuk siapa pun di dekatnya. Ia seperti karakter film besutan Ghibli yang menyenangkan, menenangkan, sekaligus menentramkan. Semua orang yang disapa akan berbalik senyum, setidaknya. Biar ia menghormati semua orang dengan gayanya. Sungguh, aku akan akrab dengannya. Memberinya jatah parkir supaya ia bisa bebas parkir tanpa takut dimintai uang parkir. Merekomendasikannya akun sosial media gadis manis (aku benar-benar percaya, siapa pun di-follow Yesus, maka orang itu akan mem-follow balik) dan mulai berkenalan lewat DM, lalu pindah ke Whatsapp untuk kemudian ngobrol kopi darat.
Suer, dia butuh liburan sederhana. Hidup kasual tanpa alasan-alasan. Berhenti memikirkan orang lain dengan sangat serius. Bahkan andaikata ia meminta, di antara sebotol anggur murah dan gitar tua, aku akan dengan senang hati menyanyikan satu-dua kidung agar hatinya terhibur. Aku bersedia menjadi kawannya sepanjang ia mau, betapa pun sulit baginya menerimaku. Tetapi ia perlu menjadi cair hatinya sebagaimana sejatinya ruh beraga.
Comments
Post a Comment