Delapan Puisi Bukowski
Sewaktu-waktu nafsu kan memburu
tetapi karma kan berlari lebih dulu.
Pukul 2 pagi, aku menghayati Bukowski.
Waktu-waktu hening yang ajaib kugunakan
memikirkan penulis tua bangka yang
sering mengentoti pikirannya. Dungu.
Tapi ia adalah nafsu, ia alkohol,
ia mesin tik, ia segala perangai yang tak
bijaksana, ia berpikir ia sekeren sekaligus
setolol Faulkner yang melarat dan kritis,
ia bukan siapa-siapa, ia siapa-siapa.
Delapan puisi Bukowski tak jadi apa-apa.
Kurobek dalam pikiranku yang lembek.
Seperti barang rongsokan yang penuh
olok-olok. Tapi aku melihat ketegaran
dari kata-kata itu yang apa adanya.
Sakit, goblok, hina, aku ingin mengakuinya.
Ia bilang, sesuatu yang keren bukan dari
gegayaan. Maka jadilah tidak berupa.
Itu adalah keren sesungguhnya.
Ia hanya ingin gadis muda cantik untuk
menemani malamnya yang kian sampah.
Harapannya tak pernah muluk; setiap kali
spermanya mengering, ia hanya ingin
melahirkan tulisan untuk dirinya, dan
untuk orang-orang yang sedang menanti
karma buruknya selesai.
Comments
Post a Comment