Yogyakarta Menyangkut-Paut Perihalmu
Tatkala aku tak seistimewa Yogyakarta,
ibu kota jantungmu bertolak ke sebuah
destinasi. Semua hal favoritmu mendadak
sangsi--daftar-daftar yang dulu kautulis
di dada sudah tak ada lagi.
Kulewati Klaten sambil kurawati lagu-lagu
pilihan dengan telaten. Aku belum ingin
tidur, bayangmu bahaya laten.
Kubaringkan yang semu di sampingku,
kubentangkan harapan yang dulu
pernah menyelimuti kita.
Menghangat tubuhku di jalur Bantul;
pemberhentian pertama ialah
peristirahatan pikiranku tentangmu.
Aku menunggu makan malam beralaskan
parasmu dan namamu yang terlalu
mudah muncul.
Di Gunungkidul, aku beradu dengan
tangan-tangan keinginan. Aku menepikan
diri di kaki Merapi terasing dalam lautan
sepi. Masih adakah cara untuk aku
menemukanmu kembali? Situs bersejarah
tak terbentuk jika tidak ada tragedi. Jadi,
apa kau cukup mengerti mengapa aku
berkemas dan mencari?
Sleman masih tak membuatku aman
dari cengkraman. Perjalanan
tergambarkan seperti misteri yang tak
mudah dipahami. Layaknya aksara
hancaraka bertuliskan "Jogja dan
sekitarnya berhati nyaman".
Malioboro dan perihal yang mudah
terlukai. Di bangku kosong aku menanti
corak-corak batik menggambari pejalan
kaki. Mata mereka menyala menerangiku
seperti toko-toko cinderamata. Tubuhmu
ada di mana-mana--terlalu mewah untuk
kuasingkan. Tak satu pun menegurku
sebab orang sedih baiknya dibiarkan
menunggu.
Kusambangi tebing breksi dan hatiku
tandas di antara bebatuan candi. Matahari
membakarku menyilaukan segenap mata
hati. Lumpur-lumpur, jalan ke hutan,
banyak lagi membuatku berdiam diri.
Dalam permenungan lantas kusadari telah
berapa lama kau pergi?--jarak semena-
mena hanya angka, tetapi jariku tak cukup
sabar menghitung ini semua.
Rinduku buah tangan untukmu--sebaik-
baiknya pelancongan, selalu ada satu atau
dua kabar yang kubawa pulang. Aku
membeli satu bungkus pertanyaan:
bagaimana kau di sana? Apa kau
menikmati dirimu yang sedang tak
mampu kujangkau? Masih ingatkah kau
jalan menuju rumahku?
Aku mengarang surat dari kepingan
semburat--terbuat dari kegagalanku
yang mudah menggeliat. Di bait terakhir,
kutulis: nona, aku hanya seorang perlaya,
lagi kaudera diri ini dalam hal-hal yang
tak aku kuasa. Lalu, tatkala aku tak
seistimewa Yogyakarta, ibu kota
jantungmu sebenarnya bertolak ke mana?
Comments
Post a Comment