Mati Di Semenanjung Kecup
Aku berdusta padamu. Aku berdusta,
lagu-lagu melupakan nyanyi kita
satu per satu. Walau kau tahu lagu kadang
tidak berarti apa-apa, kau jarang
memaafkan kebohongan-kebohongan
berpartitur.
Tiap paraumu yang sendu selalu berarti
aku tak menginginkanmu. Tiap pelukmu
yang layu selalu berarti aku
meninggalkanmu. Tiap sambutku yang
ragu melulu berarti kau meninggalkanku.
Air terasa segar di dalam mata. Langit
memata-matai kita. Kita semata-mata
menjadi air dalam kedua mata. Percuma
saja jika sanggup menghadiri langit
tengah malam; kita tak memandang
apa-apa dari mana-mana. Langit jatuh
ke genangan air mata, kesegaran
bergeming menampakan muslihat kita.
Tiap pelukmu yang kuncup selalu berarti
mengibuli mesra bulan. Bulan nun jauh di
sana tak tergapai lengan kita. Dusta kita
lebih panjang dari itu, menyanyi merdu
dalam basah rencana, saling bunuh
kepercayaan.
Lagi, isak diperuntukkan bagi yang
mengaduh pada anggur--ia seperti
orang tua yang sedia mendengar rengek
kita. Maka, jangan melawan, sesaplah
dalam tenang. Kedua ingin sedang
menginginkan pelarian ke tempat paling
sambat. Ada kata-kata panjang menjorok
ke badan kata, membawa kita dalam
senandung yang sayup. Maka, aku dan kau
akan mati di semenanjung kecup.
Comments
Post a Comment