Paturay Tineung

Petang berangin menyibakkan
rambutmu yang basah dijala perpisahan.
Kau dengan sangat pelan menggumamkan
lagu Sapu Nyere Pegat Simpay
dan tetiba teringat perpisahan sekolahmu
dalam balutan kebaya merah muda cerah
dan kemurungan yang terpisah-pisah
menjadi beberapa bagian.

Perpisahan menyelundupkan kesedihan
hingga air matamu mencair berderai
ke lintas pipimu. Riasanmu yang kaubuat
lama sekali di dalam kamar itu kini luntur
membentuk garis vertikal tak sempurna--
seperti tempo tangismu.

Rasa ambyar telah terpatri jelas di pupil
matamu. Perpisahan tentu tak semudah
membabat keinginan. Meringkas ingin kita
sesulit mengamini doa yang mesti segera
diijabah saat itu juga.

Dan aku akan selalu membuatmu terjaga
dengan obrolan-obrolan ringan,
hingga kita pergi ke atas udara
menjadi nol gravitasi dan membungkam
sepasang kebisuan.

Kita lupa ada tanggal di almanak
yang sudah kita tandai sebagai rencana,
tapi seluruhnya ditanggalkan
oleh kemampuan kita yang mudah
meninggalkan. Jangan percaya langit,
ia juga pandai berbohong soal cuaca,
lalu meninggalkan kita begitu saja
dalam keadaan bertanya-tanya.

Burung-burung mulai berterbangan
di atas kabel tiang listrik di tengah kota.
Mereka mulai memilih-milih tempat
untuk dipijakinya, untuk kemudian berjejer
rapi satu sama lainnya, mengikuti lintasan
kabel dan membuat orang-orang tertipu.
Kita ingin berdiri di antara mereka,
ingin menipu diri kita sendiri sebagai
bagian dari burung-burung tetapi
mereka akan segera menyadari
kita bukan kerabat atau kawanannya.

Apa nama burung-burung itu kita tidak
pedulikan. Mengapa tidak kita tanyakan
pada sekumpulan domba atau kambing
atau sapi? Mereka barangkali tahu bahkan
bagaimana perihal akhir, sebab setiap
tahun nasib mereka ada di tangan para
penjagal untuk perayaan banyak orang,
dengan banyak puja-puji, dengan banyak
lagi pengorbanan, dengan kepasrahan
yang menuntun mereka untuk lepas
mengatakan selamat tinggal.

Comments

Popular Posts