Rasina: Kembali
Rasina, ini kali pertama aku tak mampu pergi dari marabahaya. Rasanya seperti menepis hujan dengan tangan kosong atau bertarung kepada api yang berkobar. Dalam gemetar lutut, gemuruh dada, dan sumpah serapah perihal lalu, aku berjalan menghadapi perasaan-perasaan yang tajam: luka mengatup pun, aku terkikis.
Dalam dayaku memadamkanmu ialah sia-sia paling terpadu. Seperti bongkah batu zamrud, kau tak lekang dihantam waktu. Gelap-terang berganti di langit ibu, aku termangu menatap sepiku dan tanda tanya mengenai dirimu. Berapa banyak keberanianku kini? Aku menghitungnya sebanyak hari aku lalui.
Membentukmu dari aku membuatku rubuh.
Terbenam.
Mengering.
Menepi.
Aku terhukum. Itu cukup menandai aku masih hidup dalam genggamanmu, tak peduli soal sujud mana yang kauibakan—bukan itu aku bermaksud. Demi bebunga kering yang menjadi debu, aku tak mengais dari sedihku. Bukan itu aku bermaksud menyerah lalu binasa, justru sebaliknya, aku ingin kau melihat betapa mataku ialah kaca yang meleleh, mencari sempurna dari kurangnya sebagai aku.
Aku kembali bukan untuk menjadi ruang menyesakkan bagimu, pun bukan untuk menyusur setapak jalanan berduri. Aku kembali dengan hatiku yang tak pernah berhenti mengetuk atas namamu. Kau mesti tahu itu.
Kau mesti tahu, berpaling dari rupamu ialah caraku menipu diri. Kau sungguh akan tahu sebenarnya aku bukan begitu. Sekecil apa pun kau kulihat dalam selongsong pandangku, sebesar yakinku kembali menungku bara cinta untukmu. Lewat mana lagi aku menafikan diri? Semua dinding merapat memenjarakan dalam banyak rupamu. Aku pastikan aku sudah telak dalam dirimu.
Kau mesti tahu, tak kusentuh selapis kulit pun yang bukan milikku, tak kuraba daging yang memiliki ruh hanya untuk meluangkan sedikit biasku. Kau paham, bahkan aku tak pernah mau berbagi kau dengan bayanganku di cermin. Kau sumsum dalam darah, sumpah dalam ucapku. Rasina, aku mengetukmu.
Comments
Post a Comment