LX

Tatkala pekat memangku kesunyian, tak ada lawan sepadan untuk dipertaruhkan. Jauh di dasar hidup, terbaring kegelapan yang tak pernah bicara pada apa pun selain kepada pikiran maupun jalan suramnya.

Di dalam sana, yang gelap juga lembap, yang jauh dari sahaja, yang terkunci rapat-rapat, ada kita yang parau berteriak tetapi terabaikan begitu saja. Di antara bebayang bintang dan matahari, bayang-bayang kita bernyanyi-nyanyi. Syair nyanyian itu telaten berupaya menyebut nama-nama cahaya.

Nyatanya cahaya yang dielu-elukan menghangatkan, cukup saja berbalas pejam--cahaya dengan pongah menyebut derita kita masih tertinggal dan terlupa.

Di tengah kegelapan, kita mesti rapuh meraba dengan gigih berkali-kali membangun reka-reka ciptaan dalam pikiran sendiri. Entah berusaha menjadi cenayang yang mampu menujum ke depan, atau seorang praktisi amatir yang menggetarkan prakira, tertatih kita menerka bahwa hitam ialah warna yang mafhum memaklumi dari brutalnya sunyi dan perkara menuntas diri.

Comments

Popular Posts